Sunday, May 15, 2011

NASKAH AKADEMIK PENYUSUNAN KURIKULUM CERDAS ISTIMEWA

PENYUSUNAN KURIKULUM CERDAS ISTIMEWA

BAB I PENDAHULUAN

Rasional
Undang-Undang Nomer 20 tahun 2003 Pasal 5 (1) menegaskan bahwa siswa yang berkecerdasan istimewa mendapat layanan pendidikan khusus sesuai dengan kebutuhan dan keunggulannya. Konsekuensi dari ketentuan ini mengharuskan diselenggarakannya sistem pembelajaran yang khusus termasuk di dalamnya menu kurikulum yang didesain khusus untuk layanan siswa cerdas istimewa.
Dalam pelaksanaan layanan pembelajaran bagi Cerdas Istimewa (CI) serta struktur kurikulumnya langkah pertama yang penting ditempuh adalah penyesuaian dengan ketentuan yang berlaku bagi siswa CI serta karakternya. Perlakuan yang kurang maksimal dan tidak sesuai dengan karakter siswa CI selama ini disebabkan terjadinya miskonsepsi serta ketidaksesuaian (lack of fit) antara tuntutan yang seharusnya dengan kenyataan pelaksanaan di kelas. Hal ini menyebabkan perlakuan dan layanan pembelajaran terhadap siswa CI menjadi kurang maksimal bahkan kurang berguna untuk pengembangan potensinya.
Pelaksanaan pembelajaran CI sekedar label yang tidak mempunyai efek pada hasil belajar dan pengembangan high level thinking jika pelaksanaan CI diperlakukan sama dengan kelas regular, baik dalam model pembelajaran maupun kurikulumnya (Baska, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Swiatek dan Benbow (1991) menyimpulkan bahwa penggunaan model akselerasi yang benar akan mampu mengembangkan secara positif pengetahuan yang semakin baik dan berkurangnya efek negatif dari aspek sosial dan emosional. Oleh karena itu penerapan pembelajaran bagi CI tidak membahayakan bagi pertumbuhan sosial emosionalnya apabila dilakukan dengan baik. Temuan penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Robinson dan Janos (1989) yang menyimpulkan bahwa dalam layanan akselerasi tidak akan merusak siswa CI apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kurikulum yang selama ini digunakan di sekolah akselerasi masih menggunakan kurikulum regular/umum yang memiliki karakter keunggulan normal, sehingga logikanya menu yang normal (kelas regular) ini kurang sesuai dan tidak menantang bagi siswa yang memang mempunyai keunggulan dalam kecepatan maupun kecerdasan di atas rerata. Oleh karena itu wajar apabila kurikulum standar yang selama ini ada harus dilakukan eskalasi (peningkatan isi) agar sesuai dengan karakter siswa cerdas istimewa.
The Carnegie report (1986) melaporkan bahwa saat ini banyak sekolah menengah di Amerika sudah melakukan peningkatan isi bahan ajar (advanced) di dalam mata pelajaran yang diajarkan. Program ini muncul misalnya dalam Adler’s Paidea Program (1984) yang memasukkan keilmuan dasar dalam seni untuk semua tingkat pendidikan. Menurut Valverde (1998) di Amerika saat ini justru mengkhususkan penguatan materi bidang studi lebih diarahkan pada bidang sains dan matematika.
Kurikulum di Indonesia yang berlaku saat ini menentukan bahwa menu kurikulum yang diberlakukan di sekolah harus dikembangkan dari standar isi sehingga perbedaan kurikulum antarsekolah hanya dibedakan oleh indikator yang dikembangkan sesuai dengan karakter siswa sekolah yang bersangkutan, kebutuhan lokal maupun keunggulan yang ingin dicapai (PP 19/2007 tentang Standar Pengelolaan). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kurikulum CI pun mengikuti pola kurikulum diferensiasi yang bersandar pada standar isi. Pembeda antara kurikulum CI dengan kurikulum regular/umum adalah kedalaman dan keluasan isi. Walaupun polanya demikian namun dalam realitanya kurikulum siswa CI tetap sama dengan kelas regular bahkan untuk mengejar akselerasi waktu belajar diberlakukan reduksi dalam wujud kurikulum yang dipadatkan. Dengan begitu menu kurikulum siswa CI menjadi lebih sedikit dari kelas regular. Langkah ini sangat beresiko yakni terjadinya ketidakcukupan materi bagi siswa CI yang berakibat materi siswa CI tidak mencukupi dari tuntutan kompetensi.
Kurikulum CI perlu dimunculkan karena adanya dorongan agar kurikulum CI terhindar dari efek yang menekankan domain kognitif yang selama ini menjadi stigma pelaksanaan pembelajaran CI. Para pakar menganggap bahwa antara CI dan regular selama ini sama karena keduanya mengedepankan pencapaian domain kognitif. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum CI disamping bertujuan untuk menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa CI juga sekaligus memenuhi dan menyeimbangkan domain kognitif dengan domain nonkognitif. Menurut Sternberg (2003) terlalu kuatnya penekanan domain kognitif harus diimbangi dengan aspek sintetik dan aspek praktikal agar siswa CI yang hebat dalam pengetahuan juga matang dalam emosional dan kebutuhan sosial bermasyarakat. Upaya penyeimbangan ini penting sebab gerakan akselerasi di Indonesia lebih menekankan pada bidang MIPA sedangkan dalam penyelenggaraan akselerasi di luar negeri telah ada keseimbangan antara bidang sains, seni, bahasa, bidang sosial, dan matematika.
Secara teoritis, kurikulum yang diperuntukkan bagi siswa CI yang mempunyai karakter kecerdasan dan kecepatan belajar seharusnya tidak sama dengan kurikulum yang diberikan pada siswa regular sebab bobot dan kedalaman tidak memenuhi karakternya (Tomlinson. 2006. Renzulli. 2004. Reis. 2008. Joan. 2004). Karena itu, pelaksanaan layanan pembelajaran yang selama ini diterapkan kepada siswa CI yang menggunakan kurikulum regular dalam Kepmendiknas nomer 22/2006 diperlukan penyesuaian dengan karakter siswa CI.
Pelaksanaan empirik pembelajaran siswa CI yang sekarang ini berlangsung menggunakan kurikulum bagi kelas regular yang penetapan bobotnya setara dengan kelas regular (normal). Pelaksanaan pembelajaran bagi CI targetnya sama dengan kelas regular yaitu mencapai penguasaan standar isi (kepmendiknas 22/2006) dan hanya dibedakan dalam waktu penyelesaian yang selama 2 tahun (SMP & SMA ). Tentunya hal ini belum memenuhi tingkat kedalaman dan keluasan materi sebab realita pelaksanaan penerapan kurikulum justru dilakukan pemadatan materi sehingga akibatnya yang dicapai dalam penerapan kurikulum sebatas kulitnya saja. Selain itu penetapan target kompetensi yang akan dicapai hanya mengarah pada low cognitive skill (Raka Joni, 2006).
Pemadatan kurikulum dilakukan melalui cara menyotir materi yang dianggap tidak esensial sehingga kurikulum yang diajarkan adalah kurikulum yang dianggap oleh guru merupakan materi esensial. Di sinilah terjadi perubahan orientasi pembelajaran yang seharusnya berorientasi kepada siswa berubah menjadi berorientasi kepada guru sebab penentuan materi esensial kurikulum yang disiapkan untuk siswa ditentukan bukan oleh siswa, melainkan ditentukan oleh guru dengan sudut pandang guru. Terdapat perbedaan anggapan materi kurikulum yang esensial bagi guru dan bagi siswa. Materi esensial menurut guru belum tentu esensial menurut siswa. Dalam kondisi ini seharusnya penetapan materi esensial ditentukan dari sudut pandang siswa sebab pembelajaran berorientasi kepada siswa dan siswalah yang belajar bukan guru.
Kontektualisasi dengan lingkungan sekolah dan karakter siswa CI tetap menjadi perhatian pokok dalam pengembangan kurikulum CI. Menurut Ericson (1996) kedalaman dan ketajaman penguasaan materi dalam kerangka memperoleh hasil yang tinggi bagi siswa CI sangat bergantung pada spesifik materi yang berhasil didesain oleh guru. Masalah yang akan muncul dikarenakan tidak adanya spesifikasi materi hasil desain guru yang sesuai dengan siswa CI. Kegagalan ini disebabkan selama ini (sebelum tahun 2007) guru terbiasa sebagai pelaksana materi (penyampai GBPP) bukan sebagai desainer materi yang diturunkan (brake down) dari SK dan KD melalui analisis intruksional sehingga guru mengalami kesulitan untuk mengubah posisi guru yang semula penerap materi yang sudah didesainkan oleh PUSKUR berganti menjadi desainer materi untuk kelasnya. Perubahan paradigma desentralisasi ini di tingkat empiris tidak mudah diubah.

Landasan yuridis
Ketentuan umum terkait dengan keharusan tersedianya layanan pendidikan bagi siswa CI adalah UUD 1945 Pasal 31 yang menyebutkan bahwa ”setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Secara imperatif landasan ini meniadakan diskriminasi baik oleh latar belakang ekonomi, etnis maupun kondisi lainnya. Landasan ini diperkuat lagi dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat 4 yang menyebutkan bahwa warga negara yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Perundangan yang menyangkut perlindungan anak juga memberikan penegasan melalui UU nomor 23/2002 yang mengamanatkan bahwa anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.
Pemberian pendidikan khusus bukan sekedar memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tetapi harus mengkondisikan pada peluang bagi pengembangan potensi khusus dan kebutuhan yang anak miliki. Sebagai konsekuensi dari ketentuan ini maka harus disediakan kurikulum, evaluasi dan layanan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhannya.

Landasan Pedagogik
Ide penyelenggaraan kelas dengan pengajaran diferensiasi bertujuan mengakomodasikan perbedaan cara belajar siswa CI dan sebagai salah satu cara untuk memperbaiki penyelenggaraan pembelajaran yang tidak cocok dengan kebutuhannya (Tomlinson, 2003. Fulfilling the Promise of the Differentiated calssroom, strategies dan tools for responsive teaching. Virginia : ASCD).
Kebutuhan melakukan diferensiasi merupakan tuntutan dari karakter dan kebutuhan siswa yang mengaharuskan tersedianya desain intruksional yang berbeda dengan regular. Menurut Tomlinson, pemahaman mengenai perlunya diferensiasi bagi siswa CI diilustrasikan bahwa pembelajaran sebagai roda gigi yang jumlahnya tiga dan ketiganya saling berhubungan dan tergantung. Roda gigi pertama berisikan kebutuhan siswa dalam kelas, roda gigi kedua berisikan peran guru dan roda gigi ketiga berisikan peran kurikulum dan pembelajaran dalam kelas. Roda gigi tersebut menggambarkan jika kebutuhan siswa CI dilaksanakan maka menuntut dan mempengaruhi peran guru serta perubahan kurikulum dan pembelajarannya.
Keharusan memberikan pembelajaran yang sesuai, secara pedagogik sebagaimana yang diteorikan oleh Vygotski yang dikenal dengan teori Zona Proximal Development. Teori ini menegaskan bahwa siswa CI memerlukan bantuan pendidikan dalam berbagai tingkatan sehingga rentangan bantuan bergerak dari siswa yang hanya mampu menyelesaikan tugasnya apabila diberikan bantuan sampai pada siswa yang mampu menyelesaikan tugas dengan tanpa bantuan. Penegasan ini memberikan panduan bahwa layanan pembelajaran harusnya diberikan secara tepat bagi setiap siswa, tidak kurang tidak lebih. Sehingga diperlukan penyetalaan (tuning) atas tingkat kebutuhan dan perlunya bantuan dari guru.
Berdasarkan pemahaman ini maka dalam penyelenggaraan layanan pembelajaran di sekolah diharuskan adanya penyiapan kurikulum yang khusus dirancang untuk menyesuaikan tingkat kebutuhan. Sehingga dengan sendirinya siswa CI memerlukan kurikulum khusus dengan bobot tingkatan materi yang lebih tinggi dari siswa regular yang dinamakan dengan kurikulum diferensiasi.


Pengertian
Siswa yang berkebutuhan khusus disyaratkan adanya modifikasi dalam susunan/pengaturan pembelajarannya yang tidak sekedar sistem kurikulum kelas regular (Jill Hearne, 2008. Gifted Education ; A Primer. New Horizon for learning). Siapa siswa CI tersebut ? Jill menegaskan bahwa Siswa CI adalah siswa yang diidentifikasi oleh tenaga professional dan mempunyai kemampuan pencapaian kinerja tinggi. Kinerja tinggi ditunjukkan dengan pencapaian dan mempunyai potensi kemampuan dalam salah satu area atau kombinasi beberapa area bidang studi. Adapun area kemampuan yang ditunjukkan oleh siswa CI adalah:
- Kemampuan kecerdasan umum
- Bakat akademik khusus
- Berfikir kreatif dan produktif
- Kemampuan kepemimpinan
- Kemampuan psikomotorik
- Seni peran dan visual
Perhatian terhadap siswa CI di Indonesia mulai tahun 1974 ketika muncul kebijakan Pemerintah dalam bentuk pemberian beasiswa bagi siswa SD, SMP , SMA dan SMK yang berprestasi tinggi.
Untuk kepentingan penyelenggaraan sekolah, identifikasi terhadap siswa CI tidak hanya berdasarkan pencapaian yang ditunjukkan tersebut tetapi disertakan dengan aspek keunggulan lain pada diri siswa. Dalam konteks ini diperlukan pengukuran intelegensi dalam wujud skor IQ di atas 130 dengan pengukuran menggunakan skala Wechsler maupun dimensi lainnya seperti dimensi kreativitas tinggi serta dimensi pengikatan diri (task commitment) di atas rerata.
Beberapa pakar antara lain seperti Robert Sternberg (1995) menegaskan bahwa siswa CI bukan entitas yang monolistik bentukannya, melainkan terbentuk dari berbagai aspek atau serial kompetensi. Dalam kaitan ini Robert menyebutkan adanya tiga jenis utama kecerdasan istimewa yaitu analitik, sintetik dan praktikal. Walaupun pengertian tentang CI sangat beragam tergantung pada perspektif yang digunakan, namun yang terpenting layanan kurikulum yang diberikan tidak menggunakan bobot kurikulum siswa normal. Lena Hollingsworth menyatakan bahwa lingkungan sekolah regular tidak sesuai dengan kebutuhan siswa CI, sehingga bila diterapkan kepada siswa CI dapat mengarah pada terjadinya kesulitan dalam menjalin hubungan dengan sebaya dan juga terbentuknya sikap apatis.
Kelas siswa CI membutuhkan sederet penguatan yang tinggi mulai dari aspek kurikulum, layanan pembelajaran sampai dengan evaluasi hasil belajar. Aspek-aspek tersebut sangat penting dipahami oleh guru agar layanannya sesuai dan tidak menggunakan standar layanan regular. Aspek tersebut membawa konsekuensi semua guru harus menyiapkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter siswa CI.
Mengapa siswa CI memerlukan untuk dikecualikan dalam pembelajaran ? sesungguhnya siswa CI mempunyai kemampuan belajar yang lebih, kemampuan menerima dan menerapkan pengetahuan. Namun demikian semua kemampuan siswa CI tidak selalu tampil dalam waktu yang sama. Dengan kemampuan pemahaman yang tinggi seringkali tidak seiring dengan perkembangan fisiknya (Silverman, Linda K. 1995. Universal Experience of being out of sync ‘ Hongkong : paper world conference on gifted and talented children. Juli 31 1995. Berdasarkan pada kemampuan yang berbeda tersebut menuntut adanya pengecualian dalam layanan.
Menurut Silverman, cerdas istimewa adalah dimaknakan sebagai perkembangan yang tidak sebagaimana mestinya dalam kemampuan pengetahuan level tinggi dan dalam intensitas paling tinggi dalam menciptakan pengalamannya sendiri serta kesadaran atas perbedaan dari perkembangan secara normal. Apabila hal ini difahami, siswa CI selalu menunjukan adanya perbedaan dibandingkan dengan siswa sebayanya. Dalam kaitan ini Karen Rogers ( . 2002. Re Forming Gifted Education. Scottsdale. AZ: Great PotensialPress). Menegaskan bahwa apabila siswa berbeda maka siswa bersangkutan membutuhkan pengecualian dalam layanan program.
Dalam penegasan lebih lanjut ditegaskan bahwa sebelum guru menyiapkan program yang dikecualikan harus lebih dahulu mempertimbangkan dua isu:
1. bahwa program layanan pembelajaran yang dikecualikan tersebut harus dipandang dalam sudut pandang siswa CI sehingga penetuan bobot materi misalnya harus diukur dari sudut kemampuan siswa bukan pandangan dan anggapan guru.
2. bahwa program yang telah disusun harus dipertimbangkan apakah materi yang ditetapkan cukup penting. Bagi siswa CI mengerjakan pekerjaan yang dianggap sulit oleh sebayanya sesungguhnya merupakan hal yang biasa karena siswa CI memang mempunyai kemampuan lebih di atas siswa biasa.
Pemberian layanan diferensiasi bagi siswa Ci bukan diartikan sebagai upaya mendorong-dorong siswa bukan pula memaksa siswa untuk belajar materi yang lebih tinggi bersama siswa yang lebih tua sebelum siswa Ci siap. Namun layanan diferensiasi adalah tentang perencanaan kesesuaian pendidikan, tentang kecocokan tingkat keunggulan dan kerumitan kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan motivasi yang dimiliki oleh siswa CI. Layanan diferensiasi adalah tentang urusan bagaimana pembelajaran mernanggapi perbedaan individu.

Filosofi Kurikulum untuk siswa CI
Kurikulum untuk peserta didik cerdas istimewa dikembangkan berdasarkan pandangan dari berbagai filosofi sehingga mempunyai cara pandang terhadap konsep dan kedudukan kurikulum sendiri. Adapun filosofi kurikulum CI adalah sebagai berikut:
1. Kurikulum sebagai proses pengembangan pengetahuan. Filosofi kurikulum untuk pendidikan siswa berkecerdasan tinggi ini berfokus pada proses pengembangan ketrampilan dan kecenderungan pada penyusunan materi yang ditata pada level berfikir tingkat tinggi. Secara tersamar, pandangan filosofi ini juga berkehendak agar ketrampilan pengembangan berfikir tinggi diharapkan diterapkan lintas, dan ditingkatkan pada penemuan keilmuan yang barangkali dihadapi (Haskell, 2001).
2. Kurikulum sebagai teknologi. Pandangan filosofi ini memandang bahwa pembelajaran akan efektif dan efisien terealisir apabila sIstem pembelajaran telah disesuaikan secara keseluruhan bukan hanya secara bagian per bagian. Filosofi ini juga berpandangan bahwa kurikulum harus mempunyai standar yang jelas, dapat diajarkan dan dapat dites.
3. Kurikulum sebagai orientasi yang disesuaikan dengan pribadi. Pandangan ini menganggap bahwa kurikulum sebaiknya dikembangkan dari basis minat siswa CI sehingga muatan kurikulum dapat bertindak sebagai instrumen pengembang pribadi. Karenanya kurikulum tidak dibenarkan hanya berisikan sebatas area domain kognitif saja. Model kurikulum yang memperhatikan minat siswa ini akan membawa siswa lebih bertanggung jawab atas belajarnya sebab sesuai dengan minatnya.
4. Kurikulum sebagai rekonstruksi sosial. Filosofi ini menghendaki bahwa kurikulum CI harus bertujuan untuk menyiapkan siswa CI menjadi agen perubahan sosial. Dengan demikian konskwensinya isi kurikulum harus mencerminkan realita sosial dan budaya. Pilihan materi kurikulum dipilih untuk mampu mendorong program masyarakat dan munculnya tanggung jawab sosial pada siswa CI.
5. Kurikulum sebagai pengarah pembentukan karier profesionalitas.filosofi ini menekankan bahwa isi kurikulum seharusnya difungsikan sebagai salah satu cara mempersiapkan siswa CI dalam pekerjaan yang akan dimasuki setelah lulus. Karena itu penekanan pada kegiatan mentorship dan internship lebih diutamakan. (Tassel Baska, 2003).
Dengan memperhatikan filosofi dasar tersebut, sesungguhnya secara otomatis kurikulum untuk siswa CI tidak akan sama dengan kurikulum regular sebab disamping kemampuan kecerdasan dan karakternya siswa CI berbeda, juga filosofi yang mendasarinya juga berbeda.

Kebutuhan siswa CI sebagai pendorong diferensiasi standar isi
Penggunaan hasil pengukuran kebutuhan siswa CI sebagai dasar penyusunan layanan pembelajaran khususnya kurikulum sudah dilakukan sejak lama, sebab perencanaan pembelajaran bagi siswa Ci memang disusun berdasarkan identifikasi keunggulan dan kemampuan lebih pada siswa yang ditemukan. Model Tripocal selama ini banyak digunakan sebagai upaya menyesuaikan dengan keunggulan akademik siswa CI (Linda E. Brody. 2004. Grouping and Acceleration Practices in Gifted Education. California; Corwin Press. Hal. 35).
Layanan pembelajaran yang kurang sesuai akan menyebabkan siswa berprestasi di bawah kinerjanya. Siswa CI yang membutuhkan layanan kurikulum diferensiasi apabila diberikan layanan regular akan menyebabkan siswa CI berprestasi rendah. Untuk merespon kebutuhan siswa CI tersebut diperlukan layanan berujud grade skipping yang mengharuskan adanya diferensiasi isi dengan bobot tingkatannya sejajar dengan satu tingkat kelas di atasnya.
Dengan mendasarkan pada variasi kebutuhan siswa CI terutama dalam akademik maka menjadi jelas bahwa sangat penting melakukan eskalasi standar isi agar sesuai dengan keunggulan siswa CI.

Profil Siswa Cerdas Istimewa
Siswa cerdas istimewa selama dikenal sebagai siswa yang mempunyai perbedaan secara intelektual, ketertarikan serta kebutuhan di atas rerata siswa seumurnya. Harus disadari bahwa siswa CI merupakan entitas yang utuh yang merupakan gabungan dari berbagai karakter. Emosi tidak dapat dikembangkan dengan memisahkan dari pengembangan intelektual atau pengembangan secara fisik karena aspek satu mempengaruhi aspek lainnya (Roeper. 1981).
Siswa cerdas istimewa sebagai person yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan sebayanya memiliki konskwensi dalam layanan pembelajarannya. Dalam kaitan ini ada enam perbedaan siswa CI dibandingkan dengan siswa lainnya. Informasi mengenai tingkat dan aspek perbedaan ini sangat bermanfaat bagi penyelenggaraan agar terfasilitasi tuntutan pertumbuhan mereka. Adapun enam perbedaan tersebut diskemakan dalam sajian di bawah ini.
PROFIL SISWA CERDAS ISTIMEWA
Tipe I Suksesful
Perasaan dan Sikap
Perilaku
kebutuhan
Persepsi orang dewasa & sebaya
identifikasi
Dukungan keluarga
Dukungan sekolah
Bosanan
Tergantung
Memiliki konsep diri yang positif
Mudah cemas
Mudah meniadakan kegagalan
Mempunyai motivasi dri luar diri
Kritis terhadap diri sendiri
Mengutamakan kesempurnaan
Berprestasi tinggi
Memburu guru yang mendukung
Tidak mengambil resiko
Secara akademik unggul
Tidak mandiri
Adanya tantangan
Mencari kelemahan
Mengambil resiko
Kecenderung berbangga
Mandiri
Bantuan mengusir kebosanan
Kurikulum yang sesuai
Dicintai oleh guru
Ditokohkan oleh sebaya
Dicintai dan diterima oleh orang tua
Tes pencapaian
Tes IQ
Nominasi guru

Kemandirian
Kepemilikan
Kebebasan dalam menentukan putusan
Disediakan waktu untuk pengembangan pribadi
Adanya percepatan dan pengayaan kurikulum
Disediakan waktu untuk pengembangan kebutuhan pribadi
Adanya pengalaman pembelajaran yang dipadatkan
Peluang pengembangan ketrampilan belajar mandiri
Belajar yang mendalam
Tersedia mentorship
Bimbingan karier & belajar lanjut
Tipe II Penantang
Mudah bosan
Mudah frustrasi
Rendah penghargaan terhadap diri sendiri
Suka bertahan
Tidak sabaran
Sangat sensitive
Tidak ada kepastian dalam peran social
Suka mengoreksi guru
Jujur, langsung
Sering memperlihatkan ketidakkonsistenan dalam kerja
Kurang control diri
Kreatif
Sangat aktif
Bertahan dalam pendirian
Kompetitif
Berhubungan siswa lain
Model belajar yang luwes, kesadaran diri, control diri, diterima oleh lainnya
Dukungan menuju kreativitas

Ditemukan sering mereka menjengkelkan
Pemberontak
Suka bikin kegaduhan
Sering pula problem keilmuan
Sejawat menadang mereka suka guyonan
Dikehendaki mereka harus berubah
Jangan dipandang mereka sbgai anak cerdas
Rekomendasi oleh teman sebaya
Nominasi orang tua
Interview
Kinerja
Tes kreativitas
Saran dari guru
Diterima dan difahami
Diizinkan untuk dia menemukan hobi dan ketertarikannya
Saran
Model perilaku teladan
Adanya pekerjaan rumah
Toleransi
Penempatan yang sesuai
Pengembangan ketrampilan social dan pengetahuan
Studi yang mendalam
Membangun harga diri
Tipe III Underground
Tidak precaya
Suka menekan
Konfus
Gelisah

Mengelak sebagai siswa berbakat
Menolak sebagai siswa CI
Menolak tantangan
Menghendaki rasa social
Berubah-ubah dalam berteman
Bebas untuk membuat putusan
Penyadaran atas konflik
Kesadaran akan pentingnya perasaan
Dukungan untuk berprestasi
Keterlibatan dalam teman sebaya yang unggul
Diterima sebagai diri sendiri
Dipandang sebagai pemimpin
Dipandang sebagai siswa yang sukses
Dipandang sebagai orang yang suka complain
Dipandang sebagai pemberontak
Nominasi siswa cerdas
Nominasi dari keluarga
Nominasi dari masyarakat
Pencapaian tes
Tes IQ
Kinerja yang diperlihatkan
Saran dari guru
Diterima sebagai siswa yang merendah
Diberikan pengalaman dalam perencanaan karier
Diberikan model untuk peran apa yang sebagai bagus untuk siswa CI
Model life long learning
Beri kebebasan untuk membuat pilihan
Diakui dan diberi tempat yang layak
Diberikan kebebasan waktu untuk keluar/ istirahat dari kelas CI
Terus menerus diberikan informasi karier dan studi di pendidikan lanjutan
Tipe IV : Drop out
Dendam, suka marah
Kurang memiliki konsep diri
Suka bertahan
Tidak tekun suka sebentar-sebantar hadir
Tidak suka menyelesaikan tugas
Membuat jarak ketika didalam kelas
Suka menyendiri
Kreatif
Kritis terhadap dri sendir dan orang lain
Tidak konsisten dalam kerja
Menampakan diri sebagai siswa biasa atau berkecerdasan di bawah normal
Program individual
Hadirnya alternatif dalam banyak hal
Bimbingan baik secara sendiri maupun kelompok
Bantuan perbaikan dalam ketrampilan
Banyak orang lain yang membencikan/ jengkel
Menolaknya dan jadi bahan tertawaan
Nampak berbahaya dan memberontak
Dengan interview secara dini
Pembedaan antara IQ dan penampilan pencapaian hasil
Tes kreativitas
Rekomendasi dari teman sebaya
Ditunjukan dalam kinerja atas aspek di laur sekolah.
Bimbingan keluarga
Tes diagnostik
Bimbingan kelompok
Studi yang mendalam
Mentorship

Tipe V label ganda
Tak berdaya
Frustrasi
Percaya diri dan harga diri merasa rendah
Kurang adanya kesadaran
Pemarah
Menunjukan kerja yang tidak konsisten
Menampakkan sebagai siswa biasa atau di bawah normal
Seringkali kacau atau bertindak di laur kendali
Dukungan yang menekankan kekuatan
Mencontoh skill
Bimbingan
Pengembangan ketrampilan





Nampak bodoh
Nampak tidak memerlukan bantuan
Dihindari oleh teman sebaya
Nampak seperti siswa biasa


Direkomendasi oleh guru direkomendasi oleh teman lainnya
Interview
Saran guru
Diakui atas kemampuan kecerdasannya
Diberikan tantangan
Diberikan bimbingan




Pemberian sumber belajar
Diberi alternatif pengalaman pembelajaran diberi pengalaman awal tentang penelitian beri waktu bergaul dengan sebaya
Diberi konseling secara individual

Tipe VI mandiri
Percaya diri
Punya konsep diri
Antusias
Diterima oleh yang lain
Sportif
Mau dan tahu dan mau belajar
Mau menerima kegagalan
Mempunyai motivasi dari dalam
Punya kekuatan pribadi
Mau menerima lainnya
Mempunyai ketrampilan bermasyarakat yang cocok
Kerja secara mandiri
Mampu mengembangkan tujuannya sendiri
Bekerja tanpa disuruh
Kreatif
Teguh dalam pendirian
Mau dan berani ambil resiko
Dibela
Masukan balik
Dibimbing dalam kemampuan
Diberikan fasilitasi
Diberi peluang
Diterima oleh teman sebaya
Nampak memiliki kemampuan dan bertanggung jawab kepada orang tua
Berhasil
Sehat secara psikologis
Ditunjukan dengan kinerja
Dengan hasil
Tes pencapaian
Interview
Dengan nominasi
Tes IQ
Tes kreativitas
Dibela
Diberikan kesempatan
Diperbolehkan berteman dengan semua umur
Mengubah kendala waktu dan ruang
Diperbolehkan untuk mengembangkan tujuan jangka panjang dan dipadukan dalam perencanaan belajar
Kurikulum yang diperkaya dan diaksel
Studi secara mendalam
Bimbingan karier dan studi lanjut
Diadopsi dari George Betts dan Maureen Neihart 1988.
Matrik di atas diharapkan dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Salah satunya adalah sebagai alat untuk dijadikan dasar bagi pelatihan guru terkait dengan informasi siswa CI dan remaja pada umumnya, perbedaan sosial, kebutuhan emosional bagi tiap tipe profil siswa CI sehingga guru dapat memahami secara lengkap tentang siswa CI dalam berbagai tipe yang ada. Disamping itu matrik juga bermanfaat sebagai alat pembelajaran dalam kerangka menuju tujuan yang lebih luas tentang makna kecerdasan istimewa pada siswa dan pengaruhnya dalam cara belajarnya sehingga dapat dicapai munculnya perencanaan yang cocok dengan karakter siswa CI.

Mitos dan Efek yang menimpa pembelajaran CI
Pembelajaran bagi siswa CI yang diberlakukan di Indonesia saat ini masih dalam perkembangan dan penyesuaian sehingga karena pelaksanaanya sangat beragam dan belum semuanya sesuai dengan ketentuan yang seharusnya diberlakukan, maka muncul stigma yang menyertainya. Kelemahan berupa ketidaksesuain materi kurikulum, proses pembelajaran serta kurang ketatnya seleksi bagi siswa CI, maka muncul titik lemah dalam penyelenggaraan misalnya terlalu pembelajaran yang tergesa-gesa, terlalu diforsir dalam target pencapaian materi serta sangat mengutamakan aspek kognitif.
Karena pemanfaatan penyelenggaraan layanan pembelajaran CI hanya merupakan opsi yang pertimbangannya sering tidak murni diselenggarakan karena memang harus diadakan (ada siswa yang memang teridentifikasi siswa CI) namun seringkali karena alasan mencari kepopuleran sekolah, mencari nilai unggul dan sebagainya, maka kemudian muncul mitos serta efek negatif yang diterima. Adapun mitos yang dimaksud adalah :
1. Siswa CI akan terjadi ketidaksesuaian sosial dan emosi apabila mereka dikenakan program CI.
Selama ini tidak hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa penyelenggaraan layanan siswa CI menyebabkan problem pada siswa. Problem ini hanya terjadi apabila dalam kurikulum yang disiapkan pada mereka siswa CI untuk aspek sosial emosional distrukturkan dalam kurikulum sangat rendah (tidak seimbang).
2. Siswa CI akan memperoleh hasil yang lebih banyak apabila pembelajarannya dikendalikan. Mitos ini cukup membahayakan siswa apabila diberlakukan model all size bagi semua siswa CI. Perbedaan individual seharusnya juga diberlakukan dalam berbagai jalan sehingga siswa mempunyai peluang belajar lebih efektif dan luas menuju keahlian sesuai dengan bidang studinya (Heinbokel. 2002).
BAB II
PENGEMBANGAN KURIKULUM DIFERENSIASI UNTUK CI

Strategi Pengembangan Kurikulum bagi Siswa Cerdas Istimewa
Di tinjau dari system pembelajaran, Pengembangan kurikulum yang diperuntukan bagi layanan pembelajaran CI sebenarnya merupakan upaya strategis memodifikasi kelas secara keseluruhan. Berikut ini diuraikan empat strategi penting yang dapat digunakan oleh guru untuk memodifikasi bagi layanan model pembelajaran akselerasi. Strategi yang dimaksud adalah:
a. Strategi memilih materi untuk kurikulum diferensiasi
b. Strategi Diagnostic Prescriptive Instruction
c. Stategi menyusun kembali kurikulum
d. Strategi pemadatan kurikulum. (Baska, 2005: 27)
Walaupun strategi pengembangan kurikulum menampakkan langkah yang makro namun justru strategi ini diharapkan lebih mampu membantu pelaksanaan layanan pembelajaran untuk akselerasi. Adapun uraian yang lebih luas dari strategi di atas sebagai berikut:
a. Memilih materi untuk kurikulum diferensiasi.
Strategi pertama ini yang sebaiknya dilakukan oleh guru pemegang studi dalam layanan akselerasi adalah memilih materi yang menunjukan isi materi yang berbobot di atas rerata. Dalam tahapan ini harus dapat diberikan bukti bahwa materi yang telah dipilih untuk layanan siswa CI benar-benar efektif untuk siswa CI dan memang nyata terjadi saat pembelajaran berlangsung ketika guru melaksanakan. Dalam kerangka memenuhi strategi pemilihan materi ini harus ditempuh tiga tahapan lagi yaitu:
Tahapan 1; guru diharapkan mendaftar calon materi dari berbagai sumber yang rencananya akan di review isinya maupun bobot tantangannya.
Materi yang sesuai untuk diterapkan pada siswa CI bukanlah materi dasar dan materi minimal yang digunakan kepada siswa regular tetapi materi yang memang efektif bagi siswa CI dan materi yang real. Dalam kaitan ini dapat digunakan strategi yang prosesnya meliputi tiga langkah. Dalam kaitan ini perpustakaan dapat membantu dalam tugas tahapan 1 ini. Berikut ini format yang dapat dijadikan rujukan dalam langkah 1.
a. Bidang studi : ……………………………………………………………
b. Level materi : …………………………………………………………..
c. Kumpulkan materi yang relevan dari terbitan atau perpustakaan dan tetapkan materi yang berkarakter :
- mempunyai dua level diatas bobot materi reguler
d. materi-materi kemudian diharapkan direview dengan menggunakan ceklis sebagai berikut :
Ya No
___ ___ , kegiatan, materi pembelajaran telah dilakukan pilihan cukup mempunyai tantangan bagi siswa yang memiliki keunggulan.
____ ____, penyusunan konsep materi telah diuji dalam kedalaman yang cukup
____ ____,telah memberikan peluang untuk siswa dalam menhasilkan produk
____ ____,telah memberikan peluang utk memadukan dengan cara berfikir tingkat tinggi.
____ ____, isu, problem dan tema cukup kompleks
____ ____, baik isi materi maupun pembelajaran memberikan pemahaman abstrak yang berlevel tinggi.
____ ____, perbedaan tingkat kemampuan pada siswa telah diwadahi dalam unit pembelajaran.
____ ____, bermuatan pertanyaan terbuka yang meminta jawaban secara divergen
____ ____, cukup memberikan pelaung terjadinya belajar mandiri
( diadopsi dari Van Tassel baska, 2003 : Content Based Curriculum for Gifted Learner hal. 269 -270) Waco , TX: Prufock Press.
Langkah 2. Saat materi pelajaran sudah ditemukan dan siap direview, guru segera melengkapinya dengan ceklis criteria sebagaimana dalam langkah 1 dan menilainya untuk mendapatkan materi yang sesuai.
Langkah 3. Guru menerapkan materi yang telah dipilih. Materi yang telah dipilih berdasarkan criteria yang termuat dalam ceklis selanjutnya diterapkan di kelas dengan mempertimbangkan gaya belajar siswa serta format intruksional yang akan digunakan. Apabila misalnya menggunakan berbasis masalah maka guru harus menformatnya dalam bentuk sajian materi kasusistik.

b. Diagnostic prescriptive instruction
untuk kebanyak siswa CI di sekolah, penggunaan layanan pembelajaran yang bercorak akselerasi sering banyak digunakan sebagai bagian dari upaya memberikan makna bagi siswa CI. Inti dari model diagnostic prescriptive instruction ini adalah dikembangkannya tiga langkah yaitu : penilaian diagnostik, pengelompokan berdasarkan ketentuan tertentu dan langkah lanjutan dari intervensi kurikulum.
Langkah penilaian diagnostic. Langkah ini bertujuan untuk mengetahui atau menduga apa keunggulan yang dimilii oleh siswa CI. Penilaian diagnostic ini bias juga dikaitkan dengan prestasi yang telah diperoleh tahun sebelumnya maupun data lainnya. Penggunaan data sumber secara multi sumber sangat membantu.
Langkah berikutnya adalah pengelompokan. Langkah ini sudah masuk dalam tahapan pembelajaran dalam kelas sehingga pengelompokan hakikatnya bagian dari pelaksanaan pembelajaran. Atas dasar itu pegeompokan siswapun harus berdasarkan pada hasil penilaian diagnostic. Pengelompokan dalam kelas misalnya ternyata hanya ada seorang yang sangat tinggi keunggulannya maka dapat dikelompokan dengan siswa yang hamper sebanding bila tidak terpaksanya diminta untuk kerja mandiri.
Langkah selanjutnya adalah intervensi dengan materi kurikulum. Sesungguhnya langkah ini membawa konskwensi yaitu apabila siswa dikelompokan dengan ketentuan criteria tertentu maka seharusnya untuk mereka harus disiapkan perencanaan pembelajaran yang sesuai pula. Dalam kerangka intervensi melalui langkah ini sebaiknya guru mempunyai catatan mengenai tingkat penguasaan materi siswa dalam bentuk persentase dan dibanding dengan standar materi yang ada. Dengan menggunakan persentase 85 % penguasaan materi standar maka tentukan materi mana yang harus dilengkapkan penguasaannya, seangkan apabila menggunakan 50 % penguasaan materi standar bidang dari materi kurikulum mana yang dapat di handel lebih cepat. Selanjutnya tentukan materi mana yang harus diajarkan materi secara penuh maupun yang tidak penuh.

c. Strategi penyusunan kurikulum
strategi kelas yang lain yang bisa dilakukan untuk modifikasi pada kelas akselerasi adalah menyusun kembali kurikulum atau memadatkan isi terkait dengan konsep dan ketrampilan berfikir tingkat tinggi. Ini mendorong untuk guru mempunyai keunggulan pengetahuan materi pelajaran dan pemahaman terhadap standar yang relevan dengan mata pelajaran yang dipelajari siswa.
Dalam strategi penyusunan ulang kurikulum ini guru perlu melakukan review materi pelajaran dan memetakan lingkup serta urutan topic yang akan diajar. Langkah ini untuk menghindari adanya kesalahan konsep. Dalam langkah ini guru dapat mengkobinasikan topic, merinkasnya maupun memperluas topic khusus berdasarkan pertimbangan tertentu.
Dalam menyusun kembali kurikulum yang terpilih tersebut, guru mulai menuliskan kembali materi yang berlevel tinggi dan kemudian mulai mengembangkan kegiatan dan pertanyaan untuk pedoman siswa belajar. (lihat lampiran hal 42-43 Baska. 2005 Acceleration…….). figure 8.
d. Strategi Pemadatan kurikulum.
Strategi bagi guru dalam memberikan layanan pembelajaran siswa CI dapat menempuh melalui proses (compacting process) . tujuan dari langkah pemadatan proses adalah untuk memberikan efek diferensiasi dalam menggerakan siswa CI dari pembelajaran model belajar konvensional menuju adanya pembelajaran percepatan. Adapun mekanisme pelaksanaan pemadatan kurikulum yang dianjurkan oleh Renzulli (1982) sebagai berikut:
1. Guru membutuhkan terlebih dahulu menguji standar isi yang memiliki kemungkinan menjadi materi kurikulum CI yang bias dipadatkan untuk ditingkatkan bobotnya.
2. Guru selanjutnya membuat keputusan terkait dengan pretest dan posttest yang digunakan. Banyak guru menggunakan hasil review test untuk penilaian awal terhadap materi yang telah dikuasai siswa dan post test untuk untuk penilaian akhir. Ada juga guru harus menggunakan tes lain untuk menetukan kelayakan materi kurikulum yang akan diterapkan dan akan digunakan.

Karakter Proses Pembelajaran
Pembelajaran bagi siswa CI harus mempunyai level kualitatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas regular sehingga proses pembelajaran yang dijalani memiliki tantangan dan level berfikir kritis. Menurut Baska, (2003) ada tiga dimensi yang mempunyai pengaruh langsung terhadap kesuksesan proses pembelajaran siswa CI yaitu: penguasaan materi, proses dan produk dan konsep pengetahuan. Deminsi-demensi ini dipadukan dan digunakan sebagai dasar untuk menyusun kurikulum diferensiasi melalui model yang dikenalkan oleh Baska yaitu Integrated Curriculum Model (ICM).

Isi Materi
Isi materi kurikulum dalam pembelajaran CI lebih banyak mengarah pada aplikasi dalam praktik. Dalam kaitan ini mekanisme yang diterapkan dalam pendekatan pembelajaran adalah Diagnostic- prescriptive Instructional Approach. Pendekatan ini dilaksanakan dengan terlebih dahulu siswa dites dan selanjutnya berdasarkan hasil tes, siswa kemudian baru disiapkan materi yang sesuai untuk dikuasai.
Pendekatan ini ditata secara efektif di bawah kendali hasil tes , artinya mana pilihan materi yang akan dimasukan dalam kurikulum sangat tergantung pada hasil tes yang menggambarkan materi yang menurut siswa ada kesulitan.
Penentuan isi materi perspektifnya dari sudut siswa bukan guru.
Dalam penggunaan model ini terbuka kemungkinan dalam waktu yang sama di kelas yang sama dapat terjadi perbedaan problem, buku, atau sumber buku sehingga pembelajaran cenderung bersifat individual.
Menurut Stanley (1983) model Diagnostic prescriptive ini lebih cocok diterapkan dalam pelajaran Matematika. Sedangkan apabila guru menggunakan pembelajaran yang mengutamakan pendekatan isi, maka diperlukan adanya penghilangan materi tertentu yang dianggap kurang penting dari materi yang diajarkan. Disinilah guru dituntut menjadi penyeleksi materi yang handal. Walaupun demikian bukan berarti guru bertindak secara absolut menentukan materi yang dianggap penting secara sendiri/sepihak, harus dipertimbangkan kepentingan dan kebutuhan siswa sebab menu kurikulum diperuntukan untuk siswa bukan untuk guru sehingga harus sesuai dengan kebutuhannya. Untuk penetapan materi kurikulum harus dilakukan need assessment kebutuhan materi siswa.


Proses dan Produk
Dimensi proses dan produk sangat menekankan pada pembelajaran yang bercorak ketrampilan investigasi pada siswa CI yang memungkinkan memberi efek pada tumbuhnya kemampuan pengembangan produk yang berkualitas tinggi. Interaksi antara guru, siswa dan praktisi merupakan ciri utama pembelajaran CI. Model ini menurut Renzulli sangat berhasil di lingkungan pembelajaran siswa gifted khususnya dalam bidang ilmu sosial di sekolah sebab peluang siswa CI untuk menggunakan berbagai sumber baik dalam sekolah maupun luar kelas sangat terbuka.
Kelas yang menyelenggarakan layanan pendidikan bagi siswa CI tidak terlalu mengutamakan formal tetapi sangat fleksible sehingga kegiatan pembelajaran sangat mengutamakan proses yaitu kegiatan pembelajaran yang lebih mementingkan bagaimana pembinaan siswa CI dari tahap ke tahap bukan hasil akhir. Hal ini penting sebab dalam tataran empirik selalu menujukan bahwa siswa CI akan mengalami kekurangan dalam aspek sosial, emosional. Dengan adanya pembelajaran yang mementingkan proses maka aspek tumbuh kembangnya emosional, kematangan social tetap akan bias dipantau.
Demikian juga kelas layanan pendidikan bagi siswa Ci harus juga mementingkan produk artinya dalam pelaksanaan pembelajaran, siswa CI dituntut untuk menghasilkan produk sebagai tuntutan level tingkat tinggi yang dalam taksonomi Bloom dikenal dengan level creating. Atas dasar tuntutan yang demikian maka penerapan pola portofolio dalam arti penerapan model pembelajaran sangat diutamakan. Produk siswa CI dipandang sebagai simbol dari kemampuan tinggi siswa.

Titik berat Kurikulum untuk pembelajaran siswa CI
Prinsip dasar dari pembelajaran bagi siswa CI adalah penyediaan materi yang berbobot lebih tinggi dan mendalam pada sejumlah langkah pengembangannya (van Tassel Baska. 2003). Namun demikian tidaklah mudah sekolah menyediakan dasar materi yang elaboratif, serta aktivitas yang kaya dan meningkat peluang pembelajaranya.
Pembelajaran bagi siswa CI harus lebih berorientasi pada pengembangan tuntutan berfikir tingkat tinggi (advance) sehingga kurikulum disiapkan untuk mendukung bagi upaya terjadinya kegiatan pembelajaran yang bercorak ekplorasi, inquiry dan pemecahan masalah. Terkait dengan hal tersebut kurikulum harus berisikan materi unggul (content adnvanced) serta problem solving.
Mendasarkan pada pandangan George T. Betts (1991: 144) bahwa kurikulum khusus untuk CI harus lebih menekankan pada bobot materi yang lebih tinggi, namun hal itu belum cukup sehingga diperlukan masuknya dimensi lain yaitu: orientasi,, pengembangan individu, pengayaan aktivitas, studi mendalam dan seminar. Dengan demikian kurikulum harus dilengkapi dengan rancangan desain strategi. Pemahaman kurikulum tidak sebatas deretan materi namun dipadukan dengan desain strategi merupakan definisi baru tentang kurikulum (renzulli. 2001). Berdasarkan pada pemahaman yang demikian Betts mengusulkan model The Autonomous Learner Model (ALM) yang mempunyai keunggulan dalam mengakomodasikan kebutuhan emosional, minat dalam kurikulum. Karakter kurikulum yang dikembangkan oleh Betts ini dipandang sebagai khas dan penekanan kurikulum CI karena berprinsip membangun keprcayaan diri, ketrampilan social, materi kurikulum berbasis siswa, pengalaman pembelajarn yang terbuka, berprinsip pembelajran seumur hidup dan sebagainya sehingga tujuan utamanya dapat menyediakan kurikulum:
1. Mengembangkan lebih positif konsep diri
2. Mengembangkan hubungan yang komperehensif diantara siswa CI dengan masyarakatnya.
3. Mengembangkan ketrampilan yang sesuai untuk membangun interaksi yang efektif dengan sebaya, orang tua dan orang dewasa liannya.
4. Munculnya wawasan siswa CI dalam berbagai perspektif keilmuan
5. mengembangkan berfikir, membuat keputusan dan ketrampilan pemecahan masalah
6. mampu berpartsipasi dalam kegiatan yang sesuai untuk mendukung dan memadukan pengetahuannya, emosinya dan sosialnya.
7. Menunjukan tanggung jawabnya atas pembelajrannya sendiri baik di dalam maupun di laur kelas.
8. tujuan terakhir adalah siswa CI menjadi tanggung jawab, kreatif dan siswa yang mandiri.


Autonomous learner
Individual project
Groupproject













Komponen-Komponen Kurikulum CI
Kurikulum yang diberlakukan pada siswa CI adalah kurikulum yang telah mengalami modifikasi sehingga memiliki bobot yang lebih menantang, mendalam dan lintas disiplin. Berdasarkan pada pengertian umum kurikulum maka kurikulum untuk siswa CI juga memiliki format sebagaimana standar isi sebagaimana yang termuat dalam SK Mendiknas nomer 22 tentang stndar isi.
Berdasarkan pada ketentuan muatan tersebut, maka komponen kurikulum CI terdiri :
1. standar kompetensi
2. Kompetensi dasar
3. identitas mata pelajaran
Perbedaan antara kurikulum Ci dengan regular adalah bobot yang ditargetkan baik dalam standar kompetensi, maupun kompetensi dasar. Ketentuan yang harus dipenuhi dalam standar isi untuk siswa CI adalah standar isi harus memiliki level bobot minimal aplikasi, sehingga rentangannya mulai bobot materi aplikasi sampai dengan kreasi (memproduksi).
Sedangkan basis kurikulum yang dijadikan dasar untuk memodifikasi materi dalam kurikulum adalah standar isi yang diberlakukan oleh Pemerintah, sehingga kurikulum siswa CI sesungguhnya merupakan standar isi regular namun telah dilakukan eskalasi setinggi dua level diatasnya. Pilihan standar isi sebagai basis modifikasi disebabkan proses penguasaan materi bagi sekolah di Indonesia adalah standar isi yang dikeluarkan oleh BSNP.
Adanya pertimbangan yang terkait dengan keunggulan siswa CI, membuat materi yang dipelajari menjadi lebih komplek dan sesuai dengan keminatan siswa. Dari beberapa pertimbangan atas keunggulan tersebut, maka ancangan yang dapat dipilih untuk menuju diferensiasi kurikulum sebagai berikut:
1. mengadakan perubahan isi. Materi dibuat lebih abstrak, membuat materi lebih sulit dan lebih rumit, menghubungkan materi lintas keilmuan, menghubngkan materi dengan persoalan kemanusiaan
2. Perubahan pada proses baik pada cara mengajar guru maupun siswa belajar. Perubahan proses ini misalnya melalui akselerasi, studi secara hati-hati, pemberian dan penugasan yang luwes, penggunaan pertanyaan yang terbuka yang memilki jawaban yang tidak tunggal, maupun pengembangan kemampuan siswa dalam mengatur pencapaian tujuan belajarnya sendiri.
3. Perubahan pada produk sebagai bukti pencapaian yang ditunjukan.

Model Modifikasi Kurikulum untuk CI
Modifikasi kurikulum bagi siswa CI selama ini dikenal dengan kurikulum diferensiasi yaitu kurikulum regular yang telah dilakukan eskalasi. Perubahan bobot terutama dalam isi tuntutan kompetensi terutama dalam kompetensi dasar.
Unit analisis yang pokok dari modifikasi kurikulum bagi siswa CI adalah siswa. Dengan demikian hasil modifikasi yang tersusun selalu harus disesuaikan dengan siswa Ci baik karakternya maupun keunggulannya. Langkah modifikasi yang diorientasikan kepada siswa CI ini sangat penting agar hasil kurikulum yang telah dimodifikasi tersebut tepat peruntukannya dan membawa nilai tambah. Filosofi dari kegiatan orientasi pada modifikasi kurikulum ini adalah berdasarkan pada paradigma pengembangan keunggulan dan bakat yang ada pada siswa CI, menguatkan dan menyediakan kurikulum yang menantang bagi siswa CI sesuai dengan kebutuhannya (Silverman. 1993). Selama ini kelemahan yang sering muncul adalah adanya lemahnya dalam perencanaan kurikulum, pengorganisasian dan ketrampilan reflektif bagi suksesnya siswa CI di sekolah.
Modifikasi kurikulum bagi siswa CI dalam konteks ini bukan sekedar memisahkan materi yang dianggap esesni oleh guru tetapi penetapan materi didasarkan penentuannya melalui atau berdasar hasil asesmen yang dikenakan pada tingkat penguasaan materi yang telah dimiliki (prior knowledge) sehingga apabila dipilih bentuknya kurikulum yang mengalami kompakting maka penetuannya didasarkan hasil tes dan materi yang memang belum dikuasai sebelumnya oleh siswa. Tidak boleh materi ketika diberlakukan kompakting kurikulum ditentukan berdasarkan keputusan guru. hal ini penting untuk difahami agar materi yang akan diberlakukan dalam materi kurikulum memenang secara riil diperlukan oleh siswa CI.
Modifikasi kurikulum yang dikhususkan untuk siswa CI mempunyai konskwensi pada sisi luar kelas sehingga mengharuskan adanya fleksibilitas dalam pengaturan belajar. Dalam kasus ini misalnya siswa CI yang mengambil mata pelajaran di atasnya boleh jadi siswa CI membutuhkan untuk mendatangi kelas lainnya sehingga dalam pelaksanaanya diperlukan adanya koordinasi waktu , persyaratan guru maupun sekolah lain.
Secara umum, cara bagaimana melakukan modifikasi kurikulum ditempuh dengan mengkaitkannya dengan intelektual tinggi seperti berfikir kritis, analisis maupun kreasi. Namun dalam sekolah lain bias juga mengembangkan seperti kartu yang mengindinkasikan perlunya modifikasi kurikulum. Kartu dapat diserahkan kepada orang tua untuk diisi terkait dengan kebutuhan orang tua atas format modifikasi kurikulum yang akan diberlakukan. Namun demikian dapat pula ditempuh dengan jalan meminta saran dari ahli atau perguruan tinggi.
Modifikasi kurikulum untuk siswa CI sesungguhnya bukan bersifat kuantitatif dalam arti melakukan penjumlahan atau mengurangan isi kurikulum tetapi seharusnya bersifat kualitatif yaitu secara kualitas terjadi peningkatan baik dalam bobot maupun kemanfaatan. Salah satu saran yang mengarah pada sifat kualitatif adalah menjadikan materi lebih abstrak (Maker. 1982). Materi dipilih lebih merupakan konsep abtrak bukan yang kongkrit , materi dapat juga dikemas dalam bentuk lebih kompleks. (lihat Nicholas Colangelo. 1991 : 104).
Kurikulum untuk CI berkarakter pada focus berfikir tingkat tinggi dan problem solving karenanya kurikulum untuk siswa CI menuntut susunan yang khusus sehingga bentuknya dapat berupa kasus kasus yang harus dipecahkan oleh siswa CI. Dalam kaitan ini secara detail Getzels telah mengembangkan tipe problem yang dapat diacu dalam mengemas kurikulum CI.
Problem, menurut Getzels membedakan problem menjadi dua yaitu presented problem situation dan discovered problem situation. Keduanya dibedakan karena presented problem situation telah diketahui rumusannya, metode pemecahannya dan diketahui pula cara pemecahannya, sedangkan discovered problem situation sebaliknya. Getzels membedakan lebih lanjut tipe problem menjadi lima yaitu:
Tipe Problem
Tipe
Problem
Metode
Pemecahan

Siswa
Guru
Siswa
Guru
Siswa
Guru
1.
Tahu
tahu
tahu
tahu
Tdk tahu
tahu
2.
tahu
tahu
Tdk tahu
tahu
Tdk tahu
Tahu
3
tahu
tahu
rentangan
Tahu
Tdk tahu
tahu
4
tahu
tahu
Tdk tahu
Tdk tahu
Tdk tahu
Tdk tahu
5.
Tdk tahu
Tdk tahu
Tdk tahu
Tdk tahu
Tdk tahu
Tdk tahu

Diadopsi dari J.W Getzels. 1976. The Creative Vision.
Dalam kaitan ini menunjukan bahwa kurikulum Ci apabila dikehendaki untuk dikemas dalam tipe satu maka tuntutannya siswa harus mampu mengenal dengan jelas masalah yang akan dipecahkan serta menguasai langkah-langkah (metode ) yang ditempuh untuk menemukan pemecahan secara lengkap. Namun apabila dikendaki siswa CI targetnya mampu dan sukses dalam pribadi, masalah karier maka kurikulum harus didesain dengan tipe problema pada minimal tipe 2, demikian selanjutnya. Semakin tuntutan semakin tinggi diarahkan kepada siswa CI maka susunan kurikulum juga tipenya semakin meningkat.

Strategi pengembangan kurikulum CI

Panduan Workshop Eskalasi Kurikulum CI SMAN 1 Bekasi

Kata Pengantar

Dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan, khususnya pada pendidikan bagi anak yang memiliki kecerdasan istimewa SMAN 1 Bekasi melalui Prongam peningkatan mutu pendidikan mengadakan workshop Bintek Kurikulum Bagi siswa cerdas istimewa Workshop tersebut dimaksudkan sebagai saran penunjang pembelajaran di SMAN 1 Bekasi, maka diperlukan kreativitas yang tinggi dari para guru, orang tua , masayarakat dan peserta didik sendiri.

Seperti halnya yang terdapat pada setiap lembaga pendidikan, maka tugas guru adalah mengembangkan logika, etika dan estetika serta perpaduan ketiganya untuk diterapkan sesuai dengan kemampuan (kompetensi) peserta didik secara optimal

Akhirnya kami sebagai panitia berharap workshop tersebut dapat dilaksanakan dengan acuan ini.
















PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Peran pendidikan sangat menentukan perkembangan suatu bangsa. Pendidikan diharapkan mampu mengantarkan peserta didik menjadi pribadi yang unggul dan dapat menghadapi kehidupan di masa yang akan datang. Lebih lanjut dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan peserta didik dalam mewujudkan berbagai potensi dirinya sebagai peserta didik yang cerdas, kreatif serta mandiri. Oleh karena itu pendidikan harus berorientasi pada pembentukan generasi muda yang mandiri dengan memberikan pendidikan yang bermutu.
Pendidikan yang bermutu mencakup dua dimensi yaitu orientasi akademis dan keterampilan hidup yang esensial. Tolok ukur dimensi orientasi akademis adalah prestasi akademik peserta didik, sedangkan tolok ukur orientasi keterampilan hidup (life skill) adalah pendidikan yang dapat membuat peserta didik dapat bertahan (survive) di kehidupan nyata.
Pendidikan harus disesuaikan dengan bakat dan kemampuan peserta didik, implikasinya adalah bahwa peserta didik yang memiliki kecerdasan dan/atau bakat-bakat istimewa diperlukan layanan pendidikan khusus. Perlunya perhatian khusus pada peserta didik yang memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa melalui program layanan pendidikan khusus yang diharapkan mampu mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan optimal.
Pengembangan potensi secara optimal memerlukan strategi yang sistematis dan terarah. Tanpa layanan pembinaan yang sistematis terhadap peserta didik yang berpotensi cerdas istimewa dan/atau berbakat istimewa, maka terwujudnya keunggulan akan sangat bergantung pada motivasi belajar peserta didik serta lingkungan belajarnya.
Perhatian khusus kepada peserta didik yang berpotensi cerdas istimewa dan/ atau berbakat istimewa selaras dengan fungsi utama pendidikan, yaitu mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan optimal. Pengembangan potensi peserta didik cerdas istimewa dan/atau berbakat istimewa bertujuan mengaktualisasikan seluruh potensi keistimewaan tanpa mengabaikan keseimbangan kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, sosial, estetik, kinestetik dan kecerdasan lain. Di samping itu program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat berupa program percepatan dan/atau pengayaan (PP no. 17 tahun 2010, pasal 134 dan 135).
Atas dasar amanat etrsebut diatas, maka dalam rangka peningkatan mutu pendidikan SMAN 1 akan melaksanakan bintek kurikum bagi siswa cerdas istimewa pada tanggal 20-23 Desember 2010 di SMAN 1 Bekasi.
B. DASAR
1. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:
a. Bab II Pasal 3
b. Bab IV Pasal 5 ayat 4
c. Bab V Pasal 12 ayat 1 huruf (f)
d. Bab VI Pasal 32 ayat 1
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 70 tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memilik kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa
4. DIPA Direktorat Pembinaan SLB No. 0035.0/023-031/-/2009 tanggal 31 Desember 2009

C. TUJUAN

Kegiatan Workshop Bimbingan Teknis Kurikulum bagi peserta didik cerdas istimewa (CI) SMAN 1 Bekasi dilaksanakan dengan tujuan :
1. Meningkatkan kemampuan praktik guru yang menangani layanan pendidikan bagi anak cerdas istimewa dalam pengembangan kurikulum (KTSP)
2. Meningkatkan kemampuan praktik guru yang menangani layanan bagi anak yang memiliki kecerdasan istimewa dalam penguasaan penerapan proses belajar mengajar yang berkarakter sesuai dengan siswa Cerdas Istimewa Pendidikan Menengah.
3. Meningkatkan pengetahuan guru yang menangani layanan bagi anak yang memiliki cerdas Istimewa (CI) dalam domain pengembangan potensi tingkat lanjut melalui penerapan eskalasi kurikulum CI

D. HASIL YANG DIHARAPKAN

Hasil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah
1. Tersusunnya SK/KD eskalasi bagi Siswa CI
2. Tersusunnya Silabus eskalasi bagi siswa CI
3. Tersusunnya RPP bagi siswa CI
4. Tersusunnya model pengujian bagi siswa CI
5. Tersusunnya Model Pengembangan Karakter Siswa CI

E. WAKTU DAN TEMPAT PELAKSANAAN
Kegiatan ini dilaksanakan :
Hari, Tanggal : : Senin 20 Desember s/d Kamis 23 Desember 2010
Tempat : SMAN 1 Bekasi
Jalan K.H Agus Salim 181 Bekasi Timur

F. SASARAN
Sasaran dari workshop penyusunan dan pemanatapan penunjang pendidikan keberbakatan bagi anak cerdas istimewa, melibatkan 2 (orang) nara sumber, 2 instruktur dan 35 peserta yang terdiri dari unsur-unsur berikut :
a. Kepala Sekolah (1)
b. Wakasek (1)
c. Ketua Program (1)
d. Sekertaris Program (1)
e. Guru BP (2)
f. Wali kelas (2)
g. Guru bidang Studi (23)
h. TU (2)
G. SUMBER DANA
Anggaran workshop Bintek Eskalasi Kurikulum CI SMAN 1 Bekasi berasal dari Anggaran Subsidi Operasional CIBI Drektorat PLB tahun anggaran 2010

H. NARA SUMBER
Nara Sumber berasal dari :
a. Universitas Muhammadiyah Solo (UMS)
b. Universitas Negeri Jakarta (UNJ)

I. MEKANISME PENYELENGGARAAN
a. Pembukaan
b. Nara sumber memberikan pengarahan berdasarkan analisis kebutuhan layanan pendidikan bagi anak cerdas istimewa
c. Instruktur memberikan informasi, pandangan dan masukan terkini terkait dengan pengembangan program pendidikan bagi anak cerdas istimewa
d. Instruktur dan peserta membahas dan menuyusn pengembangan program pendidikan bagi anak cerdas istimewa
e. Pemaparan rekomendasi.

J. PENUTUP
Demikian proposal ini kami buat dengan harapan adanya dukungan dari berbagai pihak sehingga dapat membantu terselenggaranya program kelas Cerdas istimewa

Exploring Weather with Bloom’s Revised Taxonomy

Exploring Weather with Bloom’s Revised Taxonomy
Remembering
Compile a glossary of the following weather-related terms and their definitions: fog, snow, wind, lightning, condensation, convection, cyclone, evaporation, forecast, front, humidity, meteorologist, precipitation, weather, climate.
Understanding
Using your own words, explain each of the following important weather concepts: Hydrologic Cycle, Beaufont Scale, and Coriolis Effect.
Applying
Construct four different cloud formations from construction paper, felt pens and cotton balls. Be sure to label and describe each one:
High cloud types: cirrus, cirrocumulus (rare) and cirrostratus
Middle cloud types: altocumulus, altostratus and nimbostratus
Low cloud types: stratus, and stratocumulus
Clouds through all levels: cumulus and cumulonimbus
Analysing
Compare and contrast each of the following weather instruments used by meteorologists to make weather predictions: barometer, anemometer, wind vane, rain gauge and hygrometer.
Evaluating
Determine which geographic region of the world has the best weather or climate conditions on a regular basis. Which areas will you consider and what criteria will you use? Be able to defend your position.
Creating
In ancient time people invented stories to explain natural phenomena such as weather conditions. Pretend you live in an ancient land. Compose a story that explains the falling of hail. Illustrate your tale.

Konsep Cerdas Istimewa (AKSELERASI)

A. Konsep Cerdas Istimewa

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menggunakan istilah warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Penggunaan istilah potensi kecerdasan ini berkait erat dengan latar belakang teoritis yang digunakan. Potensi Kecerdasan berhubungan dengan kemampuan intelektual, sedangkan bakat tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual. Pendapat ini mula-mula dikemukakan oleh United States Office of Education (Feldhusen, 1994) bahwa anak berbakat adalah anak yang diidentifikasi oleh orang dengan kualifikasi profesional. Anak-anak yang telah mampu menunjukkan prestasinya dan atau berupa potensi kemampuan pada beberapa bidang seperti: 1) kemampuan inteligensi umum; 2) kemampuan akademik khusus (specific academic aptitude); 3) berpikir produktif atau kreatif; 4) kemampuan kepemimpinan; 5) kemampuan di bidang seni; 6) kemampuan psikomotorik.
Beberapa jenis kemampuan lainnya seperti yang disebut oleh Gardner dengan teorinya yang dikenal Multiple Intelligences (1983) yaitu, kecerdasan linguistik, kecerdasan musikal, kecerdasan spasial, kecerdasan logikal matematikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal.
Pengertian Cerdas Istimewa dalam program percepatan belajar ini dibatasi hanya pada kemampuan intelektual umum saja. Ada dua acuan yang bisa digunakan untuk mengukur kemampuan intelektual umum yaitu acuan unidimensional, yang lebih dikenal sebagai batasan yang diberikan oleh Lewis Terman (1992) dan acuan multimensional, yang disampaikan oleh Renzulli, Reis, dan Smith (1978) dengan Konsepsi Tiga Cincin (The Three Ring Conception).
Dalam mengidentifikasi peserta didik cerdas istimewa menggunakan pendekatan multidimensional, kriteria yang digunakan lebih dari satu (bukan sekedar intelligensi). Batasan yang digunakan adalah peserta didik yang memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf kecerdasan ditetapkan skor IQ 125-130 ke atas skala Wechsler (Pada alat tes yang lain = rerata skor IQ plus dua standar deviasi) , dimensi kreativitas tinggi (ditetapkan skor CQ dalam nilai baku tinggi atau plus satu standar deviasi di atas rerata) dan pengikatan diri (Task commitment) terhadap tugas baik (ditetapkan skor TC dalam kategori nilai baku baik, atau plus satu standar deviasi di atas rerata).
C.1. Macam-macam Konsep Cerdas Istimewa
Konsep Cerdas Istimewa saat ini mengacu pada suatu pandangan yang bukan lagi yang disebut monodimensional, suatu pandangan yang multidimensional yang dikemukakan pada awal dan menjadi konsep yang penting dikemukan oleh Renzulli.
Gambar 1.Renzulli’s Three-Ring Theory
Above Average General Ability
High levels of motivation
(Task commitment)
High levels of Creativity









Ketiga kemampuan tersebut (inteligensi, kreativitas, dan task commitment) ini mengarah pada anak-anak cerdas istimewa untuk mempunyai kemampuan-kemampuan atau bakat-bakat istimewa lainnya yang lebih spesifik. Gambar mengenai kemampuan tersebut oleh Renzulli digambarkan sebagai berikut:
Definisi berbakat yang hampir serupa dikembangkan oleh Mönks. Ia mengkaji model yang dikemukakan oleh Renzulli, yaitu dengan memperhatikan interaktif alamiah perkembangan manusia dan proses dinamika perkembangannya, Mönks (1992) memodifikasi Three-Ring Concept menjadi model Triadis atau Triadic Interdependence Model, yaitu kemampuan intelektual, kreativitas, dan motivasi yang tinggi, serta adanya dukungan dari faktor lingkungan sosial
Dari gambar di atas meberi gambaran kita mengenai peran pentingnya faktor eksternal bagi perkembangan dan aktualisasi suatu keberbakatan istimewa yang dimiliki peserta didik, yaitu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat atau teman sebaya.
Heller (2004) mengembangkan Model multifaktor yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari three ring concept dari Renzulli dan Triadic Interdependence model Mönks serta Multiple Intelligences dari Howard Gardner. Ia menyatakan bahwa konsep keberbakatan dapat ditinjau berdasarkan: 1) faktor bakat (talent) sebagai potensi yang ada dalam individu yang dapat meramalkan aktualisasi performance dalam area yang spesifik. Bakat ini mencakup tujuh area yang masing-masing berdiri sendiri; dan 2) faktor performance (unjuk kerja) dalam delapan area yang spesifik. Bakat (talent) dapat berkembang menjadi performance dengan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu 1) karakteristik kepribadian yang mencakup: cara mengatasi stres, motivasi berprestasi, strategi belajar, kecemasaan terhadap tes, pengendalian terhadap harapan; dan 2) kondisi-kondisi lingkungan yang mencakup: lingkungan belajar yang dikenal, iklim keluarga, kualitas pembelajaran, iklim kelas, dan peristiwa-peristiwa kritis.
Di dalam proses terwujudnya performance, bakat juga dapat mempengaruhi faktor kepribadian dan kondisi lingkungan. Misalnya bakat yang ada pada anak dapat mempengaruhi bagaimana orangtua atau guru memperlakukannya.

Gambar 3. The Munich Model of Giftedness by Kurt A. Heller (2005)






Dalam Munich Model kecerdasan berisi tujuh kemampuan:
Kemampuan intelektual
Kemampuan kreatif,
Kompetensi sosial,
Kecerdasan praktis,
Kecerdasan artistik,
musikalitas,
Ketrampilan motorik.


Delapan bidang performance yaitu:
matematika,
natural sciences,
tehnologi,
Ilmu komputer,
seni (musik, lukis),
bahasa,
atletik, olahraga,
dan relasi sosial.
Karakteristik kepribadian (non koqnitif) yang berpengaruh, antara lain,
motivasi berprestasi,
Strategi belajar dan bekerja,
control expectations,
harapan untuk sukses dan ketakutan untuk gagaldge,
dan konsep diri.

Kondisi lingkungan yang berpengaruh, antara lain:
· Iklim keluarga,
Jumlah saudara dan urutan kelahiran,
Tingkat pendidikan orangtua,
Stimulasi lingkungan rumah
Tuntutan dan prestasi yang dditetapkan orangtua,
Lingkungan belajar yang ramah,
Iklim sekolah (teman sekelas) ,
Gaya pendidkan
Kualitas pengajaran,
Pembelajaran dengan differensiasi
Reaksi social terhadap kesuksesan, maupun kegagalan
Peristiwa kehidupan

Secara lengkap Model Munich mengenai kecerdasan dapat dilihat pada gambar 4 di bawah ini.


Gambar 4. The Munich Model of Giftedness

C. 2. Kecerdasan Intelektual (Intellectual Giftedness)
Yang kita bicarakan disini adalah kecerdasan intelektual atau disebut juga kecerdasan akademikal. Yaitu suatu kecerdasan pada bidang yang berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut intelektual dan masalah akademik atau pendidikan di sekolah. Kelompok cerdas istimewa ini
Wechsler memberikan klasifikasi keberbakatan dengan batas sekitar skor 130 ke atas. Feldhusen juga memberikan batasan skor IQ dalam mengidentifikasikan bakat sekitar 125 atau 130. Renzulli memberikan skor IQ di atas rata-rata sebagai batasan untuk mengidentifikasikan keberbakatan. Beberapa ahli mendefinisikan bakat intelektual adalah individu yang mempunyai skor tes inteligensi dua deviasi standar atau lebih di atas rerata. Beberapa ahli yang lain dalam mendefinisikan kurang memberikan batas yang spesifik, dan lebih setuju menggunakan skor pada puncak rentang (sekitar 2% sampai 10%, atau dua deviasi standar atau lebih) pada pengukuran kemampuan umum.
Mönks mengatakan dengan tes inteligensi dengan skor batas IQ 130 ke atas, sedang bila menggunakan prestasi akademik puncak rentang 10%.

C.3. Komponen Cerdas Istimewa
Menurut Renzulli ada tiga komponen dalam cerdas istimewa yaitu 1) Inteligensi; 2) kreativitas; 3) task commitment. Dibawah ini akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Inteligensi : Inteligensi secara garis besar dapat diartikan menjadi tiga, pertama sebagai suatu kemampuan mental individu untuk menyesuaikan diri dengan suatu masalah atau pengalaman-penglaman baru dalam hidup, atau terhadap berbagai macam masalah maupun tuntutan yang timbul dalam ligkungan; Kedua, Inteligensi diartikan sebagai suatu kemampuan individu untuk berpikir abstrak atau kemampuan untuk menggunakan ide-ide, konsep-konsep dan simbol-simbol untuk menghasilkan sesuatu yang berguna, seperti antara lain dalam menghadapi masalah-masalah yang membutuhkan pemecahan dengan simbol-simbol verbal, numerikal, matematika, maupun kemampuan untuk menggunakan formula-formula. Sedangkan pengertian ketiga, inteligensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk belajar, artinya inteligensi menunjukkan seberapa jauh seseorang dapat dilatih atau dididik. Makin inteligen makin siap individu tersebut untuk belajar mengenai hal-hal yang lebih banyak, luas, dan mendalam. Seorang inteligen tidak hanya mampu mendapat pengetahuan dan pengalaman yang telah dipelajari saja, tetapi ia mampu pula menerapkannya pada situasi-situasi baru,
Renzulli tidak menyebutkan inteligensi yang superior sebagai suatu hal yang esensial, tetapi cukup pada taraf inteligensi di atas rata-rata. Kemampuan inteligensi yang berada pada taraf di atas rata-rata tersebut bila didukung dengan kreativitas atau cara berpikir yang divergen dan komitmen pada tugas yang tinggi akan memunculkan suatu keberbakatan pada individu.
Renzulli memberikan tekanan pada perilaku sebagai indikator keberbakatan dalam aktivitas proyek kreatif dan ia kurang memberikan ‘status’ indikator, seperti status yang diperoleh dari skor tes inteligensi, dalam ia mendefinisikan keberbakatan.
Di bawah ini adalah gambar atau kurve mengenai distribusi rentang IQ (intelligence quotient), yang mengungkap skor rerata, standar deviasi dan presentasi dari prevalensinya..

2. Kreativitas: kreativitas berasal dari kata Latin creare yang mempunyai arti menciptakan. Kemampuan untuk menciptakan, dimiliki oleh setiap individu, hanya dengan derajat yang berbeda. Guilford adalah ahli yang mula-mula memberikan definisi mengenai kreativitas, yang selanjutnya diikuti oleh ahli-ahli berikutnya. Kreativitas adalah komponen yang sering ditetapkan sebagai kriteria keberbakatan, karena inteligensi yang tinggi belum mampu mengidentifikasikan suatu keberbakatan, bila tidak disertai dengan kreativitas.
Menurut Guilford kreativitas ditandai dengan adanya sensitivitas pada problem; kelancaran berpikir; mempunyai ide-ide baru, dan juga ketepatan dan manfaat ide tersebut; fleksibilitas, mampu menyesuaikan dengan perubahan; kemampuan analisis dan sintesis, pengorganisasian ide ke hal yang lebih luas, meliputi pola dan struktur simbolik diperinci sebelum membentuk sesuatu yang baru; kompleksivitas atau menghubungan ide-ide; dan yang terakhir adalah evaluasi atau penilaian.
Munandar mengembangkan teori Torrance, a) Fluency ditandai dengan mampu mencetuskan banyak ide, banyak cara menyelesaikan masalah dan selalu memikirkan lebih dari satu jawaban; b) Flexibility, ke rampilan berpikir fleksibel atau luwes ditandai dengan mampu memproduksi gagasan, jawaban dengan berbagai variasi pendekatan bila menemukan masalah; dan mampu melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda, serta mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran; c) Originality, Seseorang berpikir original bila mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik, mampu membuat kombinasi yang unik dan tidak lazim; d) Elaboration, berarti mampu memperkaya dan mengembangkan gagasan atau produk dan mampu menambahkan atau memperinci detil-detil suatu objek, gagasan, atau situasi sehingga lebih menarik.
Bagaimanakah hubungan antara inteligensi dengan kreativitas? Hubungan inteligensi dengan kreativitas, munurut beberapa ahli (Breinstein dkk, 1994; Munandar, 1992) inteligensi yang tinggi tidak selalu diikuti dengan kreativitas yang tinggi. Dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa korelasi antara keduanya hanya sekitar + 0,10 hingga + 0,30 (Anastasi dalam Breintein, 1994).

3. Komitmen terhadap tugas (task commitment): Kemampuan inteligensi dan kreativitas tinggi belum mampu memunculkan keberbakatan, karena itu beberapa ahli mengemukakan kriteria lain di luar faktor kemampuan antara lain melibatkan faktor kepribadian, seperti misalnya komponen komitmen pada tugas yang dikemukakan Renzulli (1978), atau komponen motivasi menurut Mönks (1992). Komitmen pada tugas adalah rasa tanggung jawab untuk menyelesaikan tugas yang dihadapi, mendorong seseorang untuk tekun dan ulet, meskipun mengalami macam-macam rintangan dan hambatan, melakukan dan menyelesaikan tugas yang telah menjadi tanggungjawabnya, karena ia telah mengikatkan diri terhadap tugas tersebut atas kehendaknya sendiri.
Karakteristik/ciri anak mempunyai task commitment tinggi, menurut Renzulli antara lain:
1). Kapasitas untuk mendalami bidang tertentu yang ditekuni,antusias, keterlibatan
tinggi, rasa ingin tahu tinggi pada bidang yang ditekun;
2). Ketekunan,
3). Daya tahan kerja;
4). Keyakinan diri mampu menyelesaikan tugas;
5). Dorongan untuk berprestasi;
6). Kemampuan mengenali masalah pada bidang yang ditekuni;
7). Kemampuan menanggapi topik yang mutakhir terkait dengan bidang yang ia tekuni;
8). Menetapkan standar kerja yang tinggi
9). Selalu bersedia melakukan introspeksi diri dan terbuka terhadap kritik dari orang lain;
10). Mampu mengembangkan rasa keindahan, kualitas, dan kesempurnaan pekerjaannya,
maupun pekerjaan orang lain.
C.3. Tingkat Kecerdasan Istimewa
Cerdas istimewa ini bila kita mencoba untuk memahami, ternyata bisa dipilah menjadi empat tingkatan. Keempat tingkatan yang terbagi merdasarkan kemampuan inteligensi ini mempunyai karakteristik yang berbeda pada masing-masing tingkat. Gagne membagi Cerdas Istimewa jadi empat tingkat, yaitu
1. Basically gifted) yaitu berada pada taraf +1SD di atas rerata, atau ekuivalen dengan IQ sekitar 112/115, kelompok ini kira-kira berjumlah 15-20%, atau dengan rasio 1 banding 5 atau 6.
2. Moderately gifted mempunyai IQ berada pada +2 SD di atas rerata atau dengan IQ sekitar 125/130, jumlahnya kurang lebih 2-4% dari populasi.
3. Highly gifted yaitu mereka yang tingkat inteligensinya berada +3SD di atas rerata atau IQ kurang lebih 140-145, jumlah sekitar 0,01-0,003% atau 1 banding 300
4. Extremely gifted yaitu +4SD, dengan ekuivalen IQ sekitar 155-160, atau 1 banding 10.000.

C.4. Macam-macam Tipe Cerdas Istimewa
Ada beberapa macam Cerdas Istimewa, masing-masing mempunyai karakteristik dan cara-cara identifikasi yang berbeda dan penanganan serta pendampingan psikologis yang berbeda. Kesemuanya tentu membutuhkan ketrampilan, keahlian dan pengalaman.
Ada empat macam tipe :
Gifted Learner: Gifted Learner adalah peserta didik cerdas istimewa yang mempunyai potensi tinggi dan mampu mengaktualkan atau menunjukkan performansi yang tinggi pula. Kelompok ini yang saat ini telah sediakan program layanan khusus oleh pemerintah, yaitu dengan program akselerasi.
Gifted Underachievement: Gifted Underachievement adalah peserta didik yang mempunyai potensi tinggi, namun ia tidak mampu untuk mengaktualkan seluruh potensinya, sehingga prestasi akademiknya berada di bawah potensi sesungguhnya. Kelompok ini ditandai dengan skor IQ yang tinggi, namun prestasi akademik rendah, jadi dengan kata lain ada diskrepansi yang tinggi antara skor IQ dengan nilai rapor dan hal itu yang menyebabkan ia mengalami hambatan dalam berprestasi, penyebabnya bisa bermacam-macam
Gifted with Learning disability: Gifted dengan Learning disability adalah peserta didik mempunyai inteligensi tinggi, namun ia memiliki kesulitan belajar, seperti contohnya disertai dengan gangguan disleksia, atau mempunyai gangguan komunikasi (Communication disorder), autism, atau disertai dengan gangguan ADHD. Kelompok anak berbakat ini adalah paling sulit diidentifikasi, karena mereka biasanya lebih dipandang sebagai peserta didik yang bermasalah, sehingga pihak sekolah maupun orangtua lebih berupaya menghilangkan kekurangannya dan kurang memperhatikan kelebihan yang dimilikinya.
Asyncronic/Dysincronic Gifted: Gifted a synchronic ini adalah kelompok peserta didik yang mempunyai inteligensi sangat tinggi, namun aspek yang lain tertinggal, misalnya anak usia 5 tahun memiliki kemampuan berpikir/inteligensi (usia mental) seperti anak usia 7 tahun, namun tahap pekembangan emosi sosialnya seperti anak usia 5 tahun. Tentu ini tidak seimbang, dan menimbulakn ketidak harmonisan dia dalam melakukan penyesuaian diri dengan lingkungan.

MEMAHAMI ANAK CERDAS/BERBAKAT ISTIMEWA (CI+BI)

MEMAHAMI ANAK CERDAS/BERBAKAT ISTIMEWA (CI+BI)
DAN PENGEMBANGAN LAYANAN PENDIDIKANNYA



PEDAHULUAN
Undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 5 ayat 4 menyatakan bahwa “Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”. Perlunya perhatian khusus kepada anak CI+BI merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan potensi peserta didik secara utuh dan optimal.
Pengembangan potensi tersebut memerlukan strategi yang sistematis dan terarah. Tanpa layanan pembinaan yang sistematis terhadap siswa yang berpotensi cerdas istimewa, bangsa Indonesia akan kehilangan sumber daya manusia terbaik.
Strategi pendidikan yang ditempuh selama ini bersifat masal memberikan perlakuan standar/rata-rata kepada semua siswa sehingga kurang memperhatikan perbedaan antar siswa dalam kecakapan, minat, dan bakatnya. Dengan strategi semacam ini, keunggulan akan muncul secara acak dan sangat tergantung kepada motivasi belajar siswa serta lingkungan belajar dan mengajarnya. Oleh karena itu perlu dikembangkan keunggulan yang dimiliki oleh siswa agar potensi yang dimiliki menjadi prestasi yang unggul.
Perhatian khusus tersebut tidak dimaksudkan untuk melakukan diskriminasi, tetapi semata-mata untuk memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi siswa. Melalui penyelenggaraan pendidikan khusus untuk siswa CI+BI, diharapkan potensi-potensi yang selama ini belum berkembang secara optimal, akan tumbuh dan mampu menunjukkan kinerja terbaik.
Diperkirakan terdapat sekitar 2,2% anak usia sekolah memiliki kualifikasi CI+BI. Menurut data BPS tahun 2006 terdapat 52.989.800 anak usia sekolah. Artinya terdapat sekitar 1.059.796 anak CI+BI di Indonesia. Berdasarkan data Asossiasi CI+BI tahun 2008/9, Jumlah siswa CI+BI yang sudah terlayani di sekolah akselerasi masih sangat kecil, yaitu 9551 orang yang berarti baru 0,9% siswa CI+BI yang terlayani. Ditinjau dari segi kelembagaan, dari 260.471 sekolah, baru 311 sekolah yang memiliki program layanan bagi anak CI+BI. Itupun baru terbatas program yang berbentuk akselerasi. Sedangkan di madrasah, dari 42.756 madrasah, baru ada 7 madrasah yang menyelenggarakan program aksel. Ini berarti masih sangat rendah sekali jumlah sekolah/madrasah yang memberikan layanan pendidikan kepada siswa CI+BI, serta keterbatasan dari ragam pelayanan.

KARAKTERISTIK ANAK CI+BI
Anak-anak gifted bukanlah anak dengan populasi seragam, ia mempunyai banyak variasi, baik variasi pola tumbuh kembangnya, variasi personalitasnya, maupun variasi keberbakatannya. Semakin tinggi perkembangan inteligensianya, maka akan terjadi deskrepansi (perbedaan) di berbagai domain perkembangan. Deskrepansi ini bukan saja akan menyangkut perkembangan dalam individu, tetapi juga akan menyangkut perkembangan antar individu. Kondisi inilah yang sering membawa berbagai kesulitan pada anak-anak gifted dan sering salah terinterpretasi (Silverman, 2004).
Sebagian besar anak gifted akan mengalami perkembangan motorik kasar yang melebihi kapasitas normal, namun mengalami ketertinggalan perkembangan motorik halus. Saat ia masuk ke sekolah dasar, umumnya ia mengalami kesulitan menulis dengan baik. Banyak dari anak-anak ini diberi hukuman menulis berlembar-lembar yang justru tidak menyelesaikan masalahnya bahkan akan memperberat masalah yang dideritanya9. Anak-anak gifted adalah anak-anak yang sangat perfeksionis, sehingga perkembangan kognitif yang luar biasa tidak bisa ia salurkan melalui bentuk tulisan. Hal ini selain dapat menyebabkan kefrustrasian dan juga dapat menyebabkan kemerosotan rasa percaya diri, konsep diri yang kurang sehat serta anjlognya motivasi untuk berprestasi.
Deskrepansi antara perkembangan kognitif dan ketertinggalan motorik halus, ditambah karakteristik perfeksionisnya bisa menimbulkan masalah yang cukup serius baginya, terutama kefrustrasian dan munculnya konsep diri negatip, ia merasa sebagai anak yang bodoh tidak bisa menulis. Namun seringkali pendeteksian tidak diarahkan pada apa akar permasalahan yang sebenarnya, dan penanggulangan hanya ditujukan pada masalah perilakunya yang dianggap sebagai perilaku membangkang
Anak cerdas (brigth/higt achiever) berbeda dengan dengan anak CI+BI (gifted) dan anak-anak cerdas tidak bisa dimaksukkan ke dalam kelompok gifted karena mereka memiliki karakteristik yang berbeda. Sekalipun mereka juga memiliki tingkat intelegensi yang tinggi, namun kemampuan mereka dalam analisis, abstraksi dan kreativitas tidak seluar biasa anak-anak CI+BI. Berbagai perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:




CERDAS
(Bright/High Achiever)
CERDAS/BERBAKAT ISTIMEWA
(Gifted – Talented)
§ Menjawab pertanyaan dengan benar
§ Mempersoalkan pertanyaan
§ Berminat dengan sesuatu
§ Penasaran dengan sesuatu
§ Menunjukkan perhatian
§ Terlibat secara emosional, mental, dan fisik
§ Punya gagasan yang bagus, populer
§ Punya gagasan yang aneh, konyol, dan di luar keumuman
§ Bekerja keras untuk sukses ujian
§ Jarang belajar, hasil ujian bagus
§ Menjawab soal sesuai dengan yang ditanyakan
§ Memperluas konteks jawaban
§ Di puncak daftar siswa berprestasi
§ Di luar kelompok, berprestasi normal
§ Suka linearitas
§ Gemar kompleksitas
§ Pemerhati yang baik
§ Pengamat yang kritis, bawel
§ Mendengarkan penuh dengan minar
§ Menyimak untuk siap berdebat
§ 6-8 kali pengulangan untuk menguasai materi
§ 1-2 kali pengulangan untuk menguasai materi
§ Memahami gagasan orang lain dengan baik
§ Membentuk gagasan sendiri
§ Senang berteman dengan teman sebaya
§ Lebih suka bergaul dengan orang dewasa atau lebih tua
§ Menarik kesimpulan
§ Mempertanyakan keputusan
§ Menyelesaikan tugas yang diberikan
§ Memulai proyek sendiri
§ Pintar menyalin, meniru
§ Bagus dalam menciptakan sesuatu yang baru
§ Suka sekolah
§ Suka belajar
(Sumber: CGIS-Net Assessment systems, 2008)

IDENTIFIKASI ANAK CI+BI
Dalam mengidentifikasi peserta didik cerdas istimewa menggunakan pendekatan multidimensional. Artinya kriteria yang digunakan lebih dari satu (bukan sekedar intelligensi). Batasan yang digunakan adalah peserta didik yang memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf cerdas ditetapkan skor IQ 130 ke atas dengan pengukuran menggunakan skala Wechsler (Pada alat tes yang lain = rerata skor IQ ditambah dua standar deviasi), dimensi kreativitas tinggi (ditetapkan skor CQ dalam nilai baku tinggi atau plus satu standar deviasi di atas rerata) dan pengikatan diri (Task commitment) terhadap tugas baik (ditetapkan skor TC dalam kategori nilai baku baik, atau plus satu standar deviasi di atas rerata). Tiga komponen ini dikenal sebagai Konsepsi Tiga Cincin dari Renzulli (1978, 2005) yang banyak digunakan dalam menyusun pendidikan untuk anak cerdas istimewa, dan merupakan teori yang mendasari pengembangan pendidikan anak cerdas istimewa dan berbakat istimewa (Gifted and Talented children).
Selanjutnya dari keterkaitan tiga komponen yang menentukan giftedness tersebut, dapat dirinci kemampuan-kemampuan anak-anak cerdas secara umum maupun secara khusus. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dilihat pada grafik di bawah ini.

Model lain adalah The Triadich dari Renzulli-Mönks yang merupakan pengembangan dari Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari Renzulli. Model Renzulli-Mönks ini disebut sebagai model multifaktor yang melengkapi Konsepsi Tiga Cincin Keberbakatan dari Renzulli. Dalam model multifaktornya Mönks mengatakan bahwa potensi kecerdasan istimewa (giftedness) yang dikemukakan oleh Renzulli itu tidak akan terwujud jika tidak mendapatkan dukungan yang baik dari sekolah, keluarga, dan lingkungan di mana si anak tinggal (Mönks dan Ypenburg, 1995).
Dengan model multifaktor maka pendidikan anak cerdas istimewa tidak dapat dilepaskan dari peran orang tua dan lingkungan dalam menanggapi gejala-gejala berkecerdasan istimewa (giftedness), toleran terhadap berbagai karakteristik yang ditampilkannya baik yang positif maupun berbagai gangguan tumbuh kembangnya yang menjadi penyulit baginya, serta dalam mengupayakan layanan pendidikannya. Lebih lanjut model pendekatan ini menuntut keterlibatan pihak orang tua dalam pengasuhan di rumah agar berpartisipasi secara penuh dan simultan dengan layanan pendidikan terhadap anak di sekolah. Secara grafis pengaruh tersebut dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. The Multi Factors Model

Model Triadich Renzulli-Mönks menuntut sistem pendidikan, keluarga, dan lingkungan untuk dapat memberikan dukungan yang baik dan mengupayakan agar anak didik dapat mencapai prestasi istimewanya, sehingga diharapkan tidak akan terjadi adanya kondisi berprestasi rendah (underachiever) pada seorang anak berkecerdasan istimewa. Dengan model pendekatan teori ini juga, maka anak-anak yang mempunyai ciri-ciri berkecerdasan istimewa (dengan ciri-ciri tumbuh kembang, ciri-ciri personalitas, dan ciri-ciri intelektual) sekalipun underachiever masih dapat terdeteksi sebagai anak berkecerdasan istimewa yang memerlukan dukungan dari sekolah, keluarga dan lingkungan agar ia dapat mencapai prestasi yang istimewa sesuai potensinya.
Model pendekatan multifaktor lebih fleksibel dalam melakukan deteksi dan diagnosis anak cerdas istimewa, terutama dalam menghadapi anak-anak dengan kondisi tumbuh kembang yang mengalami disinkronitas yang besar dan penting, berkesulitan dan bergangguan belajar (learning difficulties dan learning disabilities), serta yang mengalami komorbiditas dengan gangguan lainnya (gangguan emosi dan perilaku yang patologis). Fleksibilitas dalam melakukan deteksi yang dimaksud adalah dimungkinkannya penggunaan daftar dan alat-alat ukur asesmen yang lebih beragam (Mönks dan Pflüger, 2005).
Heller (2004) mengembangkan model multifaktor yang pada dasarnya merupakan pengembangan dari Triadic Interdependence model Mönks serta Multiple Intelligences dari Howard Gardner. Menurut Heller konsep keberbakatan dapat ditinjau berdasarkan empat dimensi multifaktor yang saling terkait satu sama lain: (1) faktor talenta (talent) yang relatif mandiri (relatif mandiri); (2) faktor kinerja (performance); (3) faktor kepribadian; dan (4) faktor lingkungan; Dua faktor terakhir menjadi perantara untuk terjadinya transisi dari talenta menjadi kinerja. Secara grafis, model tersebut dapat dilihat pada gambar di halaman berikut.

Faktor bakat (talent) sebagai potensi yang ada dalam individu dapat meramalkan aktualisasi kinerja (performance) dalam area yang spesifik. Bakat ini mencakup tujuh area yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu: kemampuan intelektual, kemampuan kreatif, kompetensi sosial, kecerdasan praktis, kemampuan artistik, musikalitas, dan keterampilan psikomotor. Sementara itu Faktor kinerja (performance) meliputi delapan area kinerja, yaitu: matematika, ilmu pengetahuan alam, teknologi, komputer, seni (musik, lukis), bahasa, olah raga, serta relasi sosial.
Bakat (talent) dapat berkembang menjadi kinerja dengan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: (1) karakteristik kepribadian yang mencakup: cara mengatasi stres, motivasi berprestasi, strategi belajar dan strategi kerja, harapan-harapan akan pengendalian, harapan akan keberhasilan atau kegagalan, dan kehausan akan pengetahuan; serta (2) kondisi-kondisi lingkungan yang mencakup: iklim keluarga, jumlah saudara dan kedudukan dalam keluarga, tingkat pendidikan orang tua, stimulasi lingkungan rumah, tuntutan dan kinerja yang ada di rumah, lingkungan belajar, kualitas pembelajaran, iklim kelas, dan peristiwa-peristiwa kritis.
Di dalam proses terwujudnya bakat menjadi kinerja, bakat juga dapat mempengaruhi faktor kepribadian dan kondisi lingkungan. Misalnya bakat yang ada pada anak dapat mempengaruhi bagaimana orangtua atau guru memperlakukannya. Di dalam proses terwujudnya kinerja, bakat juga dapat mempengaruhi faktor kepribadian dan kondisi lingkungan. Misalnya bakat yang ada pada anak dapat mempengaruhi bagaimana anak tersebut menjadi semakin ulet dan tekun atau bakat yang dimiliki juga akan berpengaruh terhadap sikap orangtua atau guru terhadap anak sehingga berpengaruh terhadap cara memperlakukan si anak.
Proses Identifikasi merupakan salah satu tahap awal yang merupakan kunci utama yang penting dalam keberhasilan suatu program layanan pendidikan khusus bagi siswa CI+BI. Dalam proses rekrutmen dan seleksi dipengaruhi oleh model layanan pendidikan yang diberikan bagi peserta didik cerdas istimewa ada beberapa prinsip identifikasi yang perlu diperhatikan adalah (Klein, 2006; Porter, 2005) yaitu: Cerdas Istimewa merupakan suatu fenomena yang kompleks sehingga identifikasi hendaknya dilakukan secara multidimensional dengan:
1. Menggunakan sejumlah cara pengukuran untuk melihat variasi dari kemampuan yang dimiliki oleh siswa cerdas istimewa pada usia yang berbeda.
2. Mengukur bakat-bakat khusus yang dimiliki untuk dijadikan acuan penyusunan program belajar bagi siswa cerdas istimewa.
3. Tidak hanya memperhatikan hal-ahl yang sudah teraktualisasi, namun juga mengidentifikasi potensi.
4. Identifikasi tidak hanya untuk mengukur aspek kognitif, namun juga motivasi, minat, perkembangan sosial emosional serta aspek non kognitif lainnya.

PERMASALAHAN ANAK CI+BI
Gejala-gejala lompatan perkembangan anak CI+BI merupakan faktor kuat yang memberi dampak psikologis dalam perilakunya, baik positif maupun negatif. Dengan memahami karakteristik anak, orang tua, guru, masyarakat dapat mengantisipasi hal-hal di luar dugaan (misalnya marah, agresif) dan bisa menduga penyebabnya. Perilaku negatif tersebut, mungkin menjadi sumber masalah emosional anak CI+BI. Gambaran perilaku negatif dan positif anak CI+BI, dapat dilihat pada tabel berikut:
Karakteristik
Perilaku Positif
Perilaku negatif
Sangat waspada
Cepat mengetahui ada masalah
Senang mengoreksi orang dewasa
Selera humor tinggi
Mampu menertawakan diri sendiri
Membuat lelucon dengan mengorbankan orang lain
Mampu memahami keterkaitan satu dengan yang lain
Mampu memecahkan masalah sosial sendirian
Ikut campur urusan orang lain
Dorongan berprestasi yang kuat
Mengerjakan tugas sekolah dengan baik
Arogan, egois, tidak sabaran dengan kelambanan orang lain
Kemampuan verbal yang tinggi
Diplomasi persuasif dengan tata bahasa yang tepat
Memanipulasi orang lain
Individualistik, menantang stabilitas
Percaya diri tinggi
Hanya sedikit punya teman dekat, kuat dengan keyakinan diri sendiri
Motivasi diri yang kuat, merasa tidak perlu bantuan orang lain
Hanya perlu sedikit arahan dan bantuan orang lain
Agresif berlebihan, menantang otoritas
Kemampuan membaca sangat tinggi
Mengingat dan menguasai materi belajar dengan mudah
Gampang bosan, tidak suka hafalan
Sangat senang membaca
Membaca berbagai jenis buku, memonopoli perpustakaan
Mengabaikan orang lain
Kaya perbendaharaan kata
Mengkomunikasikan gagasan dengan lancar
Suka pamer pengetahuan
Simpanan informasi yang sangat banyak
Cepat dalam menjawab pertanyaan
Memonopoli diskusi
Rentang perhatian yang panjang
Mengerjakan tugas sampai selesai
Tidak suka kerja terbatas waktu, mengatur sendiri waktu penyelesaian
Minat beragam, rasa penasaran yang tinggi
Banyak bertanya, senang dengan gagasan baru
Kurang dapat membuat pembicaraan yang lintas disiplin
Belajar/bekerja sendiri
Menciptakan gaya sendiri dengan melakukan sesuatu
Menolak bekerjasama dengan orang lain yang dianggap tidak sejalan


LAYANAN PENDIDIKAN UNTUK ANAK CI+BI
A. Kurikulum
Kurikulum yang diberikan pada siswa CI+BI tidak boleh sama dengan siswa reguler, karena bobot dan kedalamannya tidak sesuai karakter siswa CI+BI. Kurikulum untuk siswa CI diarahkan pada pemenuhan kebutuhan siswa dan sekaligus menyeimbangkan domain kognitif dan non kognitif.
Pengembangan kurikulum berdiferensiasi dilakukan dalam upaya memenuhi tuntutan dari karakter dan kebutuhan siswa CI+BI Dengan demikian diferensiasi terkait dengan kecocokan tingkat keunggulan dan kerumitan kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan motivasi belajar yang dimiliki siswa. diferensiasi bukan saja sebatas pada kurikulum tetapi juga dalam pengayaan dan perluasaan kegiatan siswa akselerasi. Pengayaan tidak sebatas memberikan PR dan dilakukan dalam satu tipe. Pengayaan menunjuk pada perluasan dari kurikulum untuk mengembangkan pengetahuan, penerapan, ketrampilan berfikir dan sikap menuju ke tingkat yang lebih kompleks. Tujuan utama diferensiasi kurikulum adalah untuk merencanakan secara aktif dan secara konsisten membantu semua siswa agar belajar maksimal.
Berdasarkan pada diferensiasi diatas selanjutnya ditentukan materi kurikulum yang sesuai dengan siswa. Secara prinsip, penetapan materi yang secara efektif dapat dijadikan sebagai materi kurikulum bagi siswa akselerasi terikat dengan ketentuan sebagai sebagai berikut:
1. Materi memang dikumpulkan dan memenuhi rasa keingintahuan siswa akselerasi dalam pengembangan keilmuan, memberikan peluang kepadanya dengan belajar hal-hal baru serta ketrampilan yang mereka butuhkan.
2. Isi kurikulum memiliki tingkat kesulitan paling tidak dua tingkat di atas rerata materi sebayanya.
3. Materi yang dipilih terfokus pada penerapan pengetahuan nyata.
4. Materi harus lebih unggul dari materi regular, mendalam dan menuntut ketrampilan berfikir tingkat tinggi.(Joan F. Smutny,2003:54).

B. Pembelajaran
Pembelajaran yang diberikan kepada siswa CI+BI tidak boleh terlalu menekankan pada aspek kognitif. Upaya menyeimbangkan pembelajaran tersebut dilakukan dengan menyajikan aspek sintetik dan praktikal. Hal ini dilakukan, agar siswa CI+BI memiliki kematangan pengetahuan dan kemampuan untuk menjawab kebutuhan sosial bermasyarakat.
Pembelajaran harus berorientasi pada siswa, bukan pada guru. Oleh karena itu penerapan materi esensial dilakukan dengan cara melakukan asessment kemampuan siswa terhadap materi pelajaran. Apabila siswa telah menguasai materi suatu materi, maka materi tersebut tidak perlu diajarkan lagi. Dengan demikian dimungkinkan adanya perbedaan materi yang harus diajarkan kepada seorang siswa dengan siswa lainnya.
Pembelajaran bagi siswa CI+BI harus lebih berorientasi pada pengembangan tuntutan berpikir tingkat tinggi (advance) sehingga kurikulum disiapkan untuk mendukung bagi upaya terjadinya kegiatan pembelajaran yang bercorak eksplorasi, inquiri dan pemecahan masalah. Oleh karena itu materi yang tercakup dalam kurikulum harus berisikan materi unggul dan problem solving. Implikasinya, guru harus mampu mengubah struktur materi kurikulum yang mengarah pada struktur materi kasus.
Salah satu bagian penting untuk melaksanakan pembelajaran untuk siswa CI+BI adalah memilih bahan atau materi ajar. Pengembangan bahan ajar dapat dilakukan melalui pengorganisasian materi. Isi bidang studi memiliki implikasi langsung dalam upaya pembuatan urutan dan sintesis isi bidang studi sehingga langkah pengembangan bahan ajar selalu didahului dengan langkah analisis isi bidang studi dan analisis tujuan.
Yang dimaksud dengan analisis tujuan adalah langkah memperoleh informasi mengenai kategori tujuan dari pembelajaran, apakah berdimensi cognitive apa efektif atau psikomotorik, demikian juga diketahui pula level tujuannya, apakah mengarah pada tujuan yang berlevel lainnya. Analisis atas jenis dan level tujuan sangat menolong bagi pengembang bajan ajar dalam seleksi, menetapkan materi yang akan dipilih sebagai bahan pengisi pengalaman siswa.
Analisis bidang studi dimaksud sebagai langkah untuk mengetahui jenis kategori apa isi dari bidang studi, apakah isi bidang studi bermuatan sebatas konsep atau berkategori prosedur atau kategori prinsip. Dengan mengatahui apa kategorinya bagi pengembang bahan ajar dapat dengan mudah menentukan strategi penyampaiannya.
Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan untuk siswa CI+BI adalah pembelajaran aktif. Menurut Fink, bagi guru yang akan menerapkan model Pembelajaran aktif (active learning) ini untuk Siswa mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Buatlah kelompok kecil di antara peserta didik untuk memecahkan problem
2. Temukan jalan bagi peserta didik untuk menciptakan dialog nyata dengan person lain yang dianggap ahli di bidangnya (dosen, peneliti profesional dll)
3. Bangunlah suasana pembelajaran yang mengarah pada bentuk pembelajaran portofolio tentang pemikiran siswa sendiri, apa yang dipelajari siswa sendiri
4. Temukan cara bagi siswa untuk bisa melakukan observasi langsung maupun tidak langsung atas materi pelajaran yang mereka coba pelajari melalui laboratorium
5. Temukan cara agar siswa dapat belajar secara langsung dalam kondisi nyata terkait dengan apa yang mereka pelajari.
6. Tambahkan frekuensi interaksi dengan siswa
Dalam melakukan pembelajaran kepada siswa CI+BI, khususnya mata pelajaran rumpun MIPA, penggunaan laboratorium untuk kegiatan praktikum perlu dioptimalkan. Laboratorium merupakan bagian terintegrasi pada kegiatan pembelajaran MIPA. Pembelajaran MIPA berupa percobaan dan bukan percobaan dapat dilakukan di laboratorium. Pada saat menjelaskan suatu topik, guru dapat langsung mempraktekkannya di depan peserta didik. Dengan demikian siswa dapat memahami materi yang disampaikan oleh guru secara efektif
Bagi para guru penanggungjawab praktikum tugas penting yang harus dan perlu dilakukan adalah mendisain dan mengelola sebuah kegiatan praktikum. Hal ini dilakukan agar tujuan pembelajarannya jelas, isi dan urutan kegiatannya terarah dengan baik, relevan dengan tuntutan kompetensi lulusan nantinya. Di samping itu, praktikum harus dirancang sedemikian rupa sehingga merupakan pengalaman belajar yang menarik serta menyenangkan bagi peserta didik, bukan justru sebaliknya, menyiksa dan membosankan.
Respon dan pencapaian peserta didik dalam suatu kegiatan praktikum sangat bervariasi antara satu peserta didik dengan lainnya. Ada berbagai faktor penyebabnya. Salah satu adalah pengelolaan praktikum yang diserahkan kepada guru/laboran yang belum berpengalaman sehingga tidak mengetahui kesalahan-kesalahan dasar yang terjadi serta tidak berhasil membangkitkan motivasi dan minat peserta didik praktikan.
Sebagaimana kegiatan pembelajaran lainnya, kegiatan praktikum harus dilakukan evaluasi atau penilaian. Evaluasi cakupan materi praktikum dapat dilakukan dengan mengevaluasi topik-topik dan keterampilan yang diharapkan dikuasai oleh peserta didik. Evaluasi kedalaman relatif lebih sulit dan memerlukan penilaian yang jujur serta kriteria yang jelas terhadap tugas-tugas yang diberikan dalam praktikum. Seringkali terjadi aktivitas intelektal peserta didik sebatas hanya mengikuti petunjuk/resep yang ada di buku petunjuk praktikum, padahal kompetensi yang dikehendaki adalah kemampuan penemuan/penelitian ilmiah. Dua hal yang perlu diperhatikan dalam menilai praktikum adalah ketepatan metode penilaian dan proses umpan balik.
Sangat penting untuk menjamin bahwa metode penilaian yang digunakan cocok (sesuai dengan tujuan). Jika tujuan praktikum adalah peserta didik dapat menggunakan alat dengan benar, maka evaluasi dilakukan dengan mengamati dan menilai apakah yang dilakukan peserta didik telah sesuai dengan kriteria yang telah disepakati. Jika tujuan praktikum adalah peserta didik mampu berpikir ilmiah, metode evaluasi harus dapat menilai kemampuan yang ditunjukkan peserta didik. Penilaian praktikum yang hanya didasarkan pada laporan saja, tidak akan berhasil mengukur kemampuan berpikir pada tingkat tinggi yang ada pada pekerjaan praktikum itu sendiri.
Umpan balik juga merupakan salah satu sarana penilaian. Proses belajar peserta didik akan dapat difasilitasi dengan baik apabila ada umpan balik terhadap yang mereka lakukan dan hasilkan. Umpan balik dapat diperoleh dari guru pembimbing, dosen pendamping atau kelompok praktikan

C. Manajemen Kelas
1. Model kelas menetap
Kelas menetap (stay class) adalah kelas secara terus menerus digunakan oleh siswa kelas tertentu dalam kegiatan pembelajaran. Aktivitas pembelajaran di luar kelas tersebut hanya dilakukan pada saat menggunakan laboratorium.
Dalam kelas ini, siswa CI+BI digabung bersama dengan siswa reguler. Apabila jumlah siswa CI+BI lebih dari 10 orang, hendaknya siswa tersebut dibagi ke dalam 2 kelas inklusif. Oleh karena ada dua kelompok kemampuan siswa di dalam kelas ini, maka diupayakan dua sudut kelas, yaitu sudut reguler dan sudut CI+BI . pengertian sudut reguler adalah mereka yang mendapatkan pembelajaran sesuai dengan cakupan materi di dalam standar isi. Sedangkan sudut CI+BI disediakan untuk siswa CI+BI yang memperoleh pemberian materi yang bersifat pengayaan dan percepatan.
Untuk meningkatkan efektivitas kelas semacam ini, guru utama yang mengajar harus dibantu oleh guru pendamping (Teacher asisstant), yang tugas utamanya memantau kemajuan belajar siswa CI+BI
Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk model layanan bagi siswa CI untuk model inklusif kelas menetap sebagai berikut:
a. Kelompokkan siswa CI+BI ke dalam 2 kelas reguler
b. Rancang kelas yang diikuti siswa CI+BI dalam bentuk 2 sudut.
c. Siswa diberikan konsep map atas semua pelajaran yang diselenggarakan di kelas itu kemudian setiap siswa dipersilahkan mempelajarai materi secara active learning dan belajar sesuai dengan kecepatan belajarnya.
d. Guru harus menyediakan jejak rekam percepatan peserta didik secara individual yang dapat diketahui secara umum/dapat dibaca oleh semua siswa lainnya.
e. Jejak rekam data percepatan pembelajaran ini akan dipajang di kelas dan setiap peserta yang berminat untuk melakukan akselerasi menuliskan sendiri pada data jejak rekam kemajuan aksleerasi individual berhasil dia capai.
f. Jejak rekam berisikan kolom dan lajur nama semua peserta didik dalam kelas inklusi serta nama bidang studi yang diakselerasikan. Jejak rekam bisa berupa table yang harus diaksir oleh peserta akselarasi sendiri berdasarkan pencapaian pokok bahasan yang telah dikuasai oleh peserta didik.
g. Untuk memberikan penilaian seberapa jauh kemajuan peserta didik dalam akselerasi penguasaan materi bidang studi, guru harus memberikan evaluasi individual mengenai mastery learning yang ditargetkan oleh sekolah atau guru. Sekolah atau guru boleh menetapkan passing grade sejauh mana yang dipandang sesuai dengan target. Selanjutnya berdasarkan ketentuan penilaian pencapaian target tersebut peserta didik memasukkan sendiri kemajuan akselerasinya ke dalam jejak rekam terkait dengan data hasil pencapaian akslerasinya dengan memberikan aksir pada table atau sejensinya yang dipajang secara permanen dalam kelas.
2. Model moving class
Moving class (kelas berpindah) adalah sistem pembelajaran, dimana setiap mata pelajaran memiliki ruang dan sekaligus merupakan laboratorium mata pelajaran. Rombongan Belajar yang akan belajar suatu mata pelajaran harus mendatangi ruang/laboratorium mata pelajaran tersebut. Guru mata pelajaran tetap berada di ruang/laboratorium mata pelajarannya. Jadi siswa berada dalam suasana baru setiap akan belajar suatu mata pelajaran. Kondisi setiap ruang/laboratorium mata pelajaran akan disesuaikan dengan karakteristik mata pelajaran tersebut.