Sunday, May 15, 2011

NASKAH AKADEMIK PENYUSUNAN KURIKULUM CERDAS ISTIMEWA

PENYUSUNAN KURIKULUM CERDAS ISTIMEWA

BAB I PENDAHULUAN

Rasional
Undang-Undang Nomer 20 tahun 2003 Pasal 5 (1) menegaskan bahwa siswa yang berkecerdasan istimewa mendapat layanan pendidikan khusus sesuai dengan kebutuhan dan keunggulannya. Konsekuensi dari ketentuan ini mengharuskan diselenggarakannya sistem pembelajaran yang khusus termasuk di dalamnya menu kurikulum yang didesain khusus untuk layanan siswa cerdas istimewa.
Dalam pelaksanaan layanan pembelajaran bagi Cerdas Istimewa (CI) serta struktur kurikulumnya langkah pertama yang penting ditempuh adalah penyesuaian dengan ketentuan yang berlaku bagi siswa CI serta karakternya. Perlakuan yang kurang maksimal dan tidak sesuai dengan karakter siswa CI selama ini disebabkan terjadinya miskonsepsi serta ketidaksesuaian (lack of fit) antara tuntutan yang seharusnya dengan kenyataan pelaksanaan di kelas. Hal ini menyebabkan perlakuan dan layanan pembelajaran terhadap siswa CI menjadi kurang maksimal bahkan kurang berguna untuk pengembangan potensinya.
Pelaksanaan pembelajaran CI sekedar label yang tidak mempunyai efek pada hasil belajar dan pengembangan high level thinking jika pelaksanaan CI diperlakukan sama dengan kelas regular, baik dalam model pembelajaran maupun kurikulumnya (Baska, 2005).
Penelitian yang dilakukan oleh Swiatek dan Benbow (1991) menyimpulkan bahwa penggunaan model akselerasi yang benar akan mampu mengembangkan secara positif pengetahuan yang semakin baik dan berkurangnya efek negatif dari aspek sosial dan emosional. Oleh karena itu penerapan pembelajaran bagi CI tidak membahayakan bagi pertumbuhan sosial emosionalnya apabila dilakukan dengan baik. Temuan penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Robinson dan Janos (1989) yang menyimpulkan bahwa dalam layanan akselerasi tidak akan merusak siswa CI apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Kurikulum yang selama ini digunakan di sekolah akselerasi masih menggunakan kurikulum regular/umum yang memiliki karakter keunggulan normal, sehingga logikanya menu yang normal (kelas regular) ini kurang sesuai dan tidak menantang bagi siswa yang memang mempunyai keunggulan dalam kecepatan maupun kecerdasan di atas rerata. Oleh karena itu wajar apabila kurikulum standar yang selama ini ada harus dilakukan eskalasi (peningkatan isi) agar sesuai dengan karakter siswa cerdas istimewa.
The Carnegie report (1986) melaporkan bahwa saat ini banyak sekolah menengah di Amerika sudah melakukan peningkatan isi bahan ajar (advanced) di dalam mata pelajaran yang diajarkan. Program ini muncul misalnya dalam Adler’s Paidea Program (1984) yang memasukkan keilmuan dasar dalam seni untuk semua tingkat pendidikan. Menurut Valverde (1998) di Amerika saat ini justru mengkhususkan penguatan materi bidang studi lebih diarahkan pada bidang sains dan matematika.
Kurikulum di Indonesia yang berlaku saat ini menentukan bahwa menu kurikulum yang diberlakukan di sekolah harus dikembangkan dari standar isi sehingga perbedaan kurikulum antarsekolah hanya dibedakan oleh indikator yang dikembangkan sesuai dengan karakter siswa sekolah yang bersangkutan, kebutuhan lokal maupun keunggulan yang ingin dicapai (PP 19/2007 tentang Standar Pengelolaan). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kurikulum CI pun mengikuti pola kurikulum diferensiasi yang bersandar pada standar isi. Pembeda antara kurikulum CI dengan kurikulum regular/umum adalah kedalaman dan keluasan isi. Walaupun polanya demikian namun dalam realitanya kurikulum siswa CI tetap sama dengan kelas regular bahkan untuk mengejar akselerasi waktu belajar diberlakukan reduksi dalam wujud kurikulum yang dipadatkan. Dengan begitu menu kurikulum siswa CI menjadi lebih sedikit dari kelas regular. Langkah ini sangat beresiko yakni terjadinya ketidakcukupan materi bagi siswa CI yang berakibat materi siswa CI tidak mencukupi dari tuntutan kompetensi.
Kurikulum CI perlu dimunculkan karena adanya dorongan agar kurikulum CI terhindar dari efek yang menekankan domain kognitif yang selama ini menjadi stigma pelaksanaan pembelajaran CI. Para pakar menganggap bahwa antara CI dan regular selama ini sama karena keduanya mengedepankan pencapaian domain kognitif. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum CI disamping bertujuan untuk menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa CI juga sekaligus memenuhi dan menyeimbangkan domain kognitif dengan domain nonkognitif. Menurut Sternberg (2003) terlalu kuatnya penekanan domain kognitif harus diimbangi dengan aspek sintetik dan aspek praktikal agar siswa CI yang hebat dalam pengetahuan juga matang dalam emosional dan kebutuhan sosial bermasyarakat. Upaya penyeimbangan ini penting sebab gerakan akselerasi di Indonesia lebih menekankan pada bidang MIPA sedangkan dalam penyelenggaraan akselerasi di luar negeri telah ada keseimbangan antara bidang sains, seni, bahasa, bidang sosial, dan matematika.
Secara teoritis, kurikulum yang diperuntukkan bagi siswa CI yang mempunyai karakter kecerdasan dan kecepatan belajar seharusnya tidak sama dengan kurikulum yang diberikan pada siswa regular sebab bobot dan kedalaman tidak memenuhi karakternya (Tomlinson. 2006. Renzulli. 2004. Reis. 2008. Joan. 2004). Karena itu, pelaksanaan layanan pembelajaran yang selama ini diterapkan kepada siswa CI yang menggunakan kurikulum regular dalam Kepmendiknas nomer 22/2006 diperlukan penyesuaian dengan karakter siswa CI.
Pelaksanaan empirik pembelajaran siswa CI yang sekarang ini berlangsung menggunakan kurikulum bagi kelas regular yang penetapan bobotnya setara dengan kelas regular (normal). Pelaksanaan pembelajaran bagi CI targetnya sama dengan kelas regular yaitu mencapai penguasaan standar isi (kepmendiknas 22/2006) dan hanya dibedakan dalam waktu penyelesaian yang selama 2 tahun (SMP & SMA ). Tentunya hal ini belum memenuhi tingkat kedalaman dan keluasan materi sebab realita pelaksanaan penerapan kurikulum justru dilakukan pemadatan materi sehingga akibatnya yang dicapai dalam penerapan kurikulum sebatas kulitnya saja. Selain itu penetapan target kompetensi yang akan dicapai hanya mengarah pada low cognitive skill (Raka Joni, 2006).
Pemadatan kurikulum dilakukan melalui cara menyotir materi yang dianggap tidak esensial sehingga kurikulum yang diajarkan adalah kurikulum yang dianggap oleh guru merupakan materi esensial. Di sinilah terjadi perubahan orientasi pembelajaran yang seharusnya berorientasi kepada siswa berubah menjadi berorientasi kepada guru sebab penentuan materi esensial kurikulum yang disiapkan untuk siswa ditentukan bukan oleh siswa, melainkan ditentukan oleh guru dengan sudut pandang guru. Terdapat perbedaan anggapan materi kurikulum yang esensial bagi guru dan bagi siswa. Materi esensial menurut guru belum tentu esensial menurut siswa. Dalam kondisi ini seharusnya penetapan materi esensial ditentukan dari sudut pandang siswa sebab pembelajaran berorientasi kepada siswa dan siswalah yang belajar bukan guru.
Kontektualisasi dengan lingkungan sekolah dan karakter siswa CI tetap menjadi perhatian pokok dalam pengembangan kurikulum CI. Menurut Ericson (1996) kedalaman dan ketajaman penguasaan materi dalam kerangka memperoleh hasil yang tinggi bagi siswa CI sangat bergantung pada spesifik materi yang berhasil didesain oleh guru. Masalah yang akan muncul dikarenakan tidak adanya spesifikasi materi hasil desain guru yang sesuai dengan siswa CI. Kegagalan ini disebabkan selama ini (sebelum tahun 2007) guru terbiasa sebagai pelaksana materi (penyampai GBPP) bukan sebagai desainer materi yang diturunkan (brake down) dari SK dan KD melalui analisis intruksional sehingga guru mengalami kesulitan untuk mengubah posisi guru yang semula penerap materi yang sudah didesainkan oleh PUSKUR berganti menjadi desainer materi untuk kelasnya. Perubahan paradigma desentralisasi ini di tingkat empiris tidak mudah diubah.

Landasan yuridis
Ketentuan umum terkait dengan keharusan tersedianya layanan pendidikan bagi siswa CI adalah UUD 1945 Pasal 31 yang menyebutkan bahwa ”setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Secara imperatif landasan ini meniadakan diskriminasi baik oleh latar belakang ekonomi, etnis maupun kondisi lainnya. Landasan ini diperkuat lagi dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat 4 yang menyebutkan bahwa warga negara yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.
Perundangan yang menyangkut perlindungan anak juga memberikan penegasan melalui UU nomor 23/2002 yang mengamanatkan bahwa anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus.
Pemberian pendidikan khusus bukan sekedar memberikan kesempatan memperoleh pendidikan tetapi harus mengkondisikan pada peluang bagi pengembangan potensi khusus dan kebutuhan yang anak miliki. Sebagai konsekuensi dari ketentuan ini maka harus disediakan kurikulum, evaluasi dan layanan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhannya.

Landasan Pedagogik
Ide penyelenggaraan kelas dengan pengajaran diferensiasi bertujuan mengakomodasikan perbedaan cara belajar siswa CI dan sebagai salah satu cara untuk memperbaiki penyelenggaraan pembelajaran yang tidak cocok dengan kebutuhannya (Tomlinson, 2003. Fulfilling the Promise of the Differentiated calssroom, strategies dan tools for responsive teaching. Virginia : ASCD).
Kebutuhan melakukan diferensiasi merupakan tuntutan dari karakter dan kebutuhan siswa yang mengaharuskan tersedianya desain intruksional yang berbeda dengan regular. Menurut Tomlinson, pemahaman mengenai perlunya diferensiasi bagi siswa CI diilustrasikan bahwa pembelajaran sebagai roda gigi yang jumlahnya tiga dan ketiganya saling berhubungan dan tergantung. Roda gigi pertama berisikan kebutuhan siswa dalam kelas, roda gigi kedua berisikan peran guru dan roda gigi ketiga berisikan peran kurikulum dan pembelajaran dalam kelas. Roda gigi tersebut menggambarkan jika kebutuhan siswa CI dilaksanakan maka menuntut dan mempengaruhi peran guru serta perubahan kurikulum dan pembelajarannya.
Keharusan memberikan pembelajaran yang sesuai, secara pedagogik sebagaimana yang diteorikan oleh Vygotski yang dikenal dengan teori Zona Proximal Development. Teori ini menegaskan bahwa siswa CI memerlukan bantuan pendidikan dalam berbagai tingkatan sehingga rentangan bantuan bergerak dari siswa yang hanya mampu menyelesaikan tugasnya apabila diberikan bantuan sampai pada siswa yang mampu menyelesaikan tugas dengan tanpa bantuan. Penegasan ini memberikan panduan bahwa layanan pembelajaran harusnya diberikan secara tepat bagi setiap siswa, tidak kurang tidak lebih. Sehingga diperlukan penyetalaan (tuning) atas tingkat kebutuhan dan perlunya bantuan dari guru.
Berdasarkan pemahaman ini maka dalam penyelenggaraan layanan pembelajaran di sekolah diharuskan adanya penyiapan kurikulum yang khusus dirancang untuk menyesuaikan tingkat kebutuhan. Sehingga dengan sendirinya siswa CI memerlukan kurikulum khusus dengan bobot tingkatan materi yang lebih tinggi dari siswa regular yang dinamakan dengan kurikulum diferensiasi.


Pengertian
Siswa yang berkebutuhan khusus disyaratkan adanya modifikasi dalam susunan/pengaturan pembelajarannya yang tidak sekedar sistem kurikulum kelas regular (Jill Hearne, 2008. Gifted Education ; A Primer. New Horizon for learning). Siapa siswa CI tersebut ? Jill menegaskan bahwa Siswa CI adalah siswa yang diidentifikasi oleh tenaga professional dan mempunyai kemampuan pencapaian kinerja tinggi. Kinerja tinggi ditunjukkan dengan pencapaian dan mempunyai potensi kemampuan dalam salah satu area atau kombinasi beberapa area bidang studi. Adapun area kemampuan yang ditunjukkan oleh siswa CI adalah:
- Kemampuan kecerdasan umum
- Bakat akademik khusus
- Berfikir kreatif dan produktif
- Kemampuan kepemimpinan
- Kemampuan psikomotorik
- Seni peran dan visual
Perhatian terhadap siswa CI di Indonesia mulai tahun 1974 ketika muncul kebijakan Pemerintah dalam bentuk pemberian beasiswa bagi siswa SD, SMP , SMA dan SMK yang berprestasi tinggi.
Untuk kepentingan penyelenggaraan sekolah, identifikasi terhadap siswa CI tidak hanya berdasarkan pencapaian yang ditunjukkan tersebut tetapi disertakan dengan aspek keunggulan lain pada diri siswa. Dalam konteks ini diperlukan pengukuran intelegensi dalam wujud skor IQ di atas 130 dengan pengukuran menggunakan skala Wechsler maupun dimensi lainnya seperti dimensi kreativitas tinggi serta dimensi pengikatan diri (task commitment) di atas rerata.
Beberapa pakar antara lain seperti Robert Sternberg (1995) menegaskan bahwa siswa CI bukan entitas yang monolistik bentukannya, melainkan terbentuk dari berbagai aspek atau serial kompetensi. Dalam kaitan ini Robert menyebutkan adanya tiga jenis utama kecerdasan istimewa yaitu analitik, sintetik dan praktikal. Walaupun pengertian tentang CI sangat beragam tergantung pada perspektif yang digunakan, namun yang terpenting layanan kurikulum yang diberikan tidak menggunakan bobot kurikulum siswa normal. Lena Hollingsworth menyatakan bahwa lingkungan sekolah regular tidak sesuai dengan kebutuhan siswa CI, sehingga bila diterapkan kepada siswa CI dapat mengarah pada terjadinya kesulitan dalam menjalin hubungan dengan sebaya dan juga terbentuknya sikap apatis.
Kelas siswa CI membutuhkan sederet penguatan yang tinggi mulai dari aspek kurikulum, layanan pembelajaran sampai dengan evaluasi hasil belajar. Aspek-aspek tersebut sangat penting dipahami oleh guru agar layanannya sesuai dan tidak menggunakan standar layanan regular. Aspek tersebut membawa konsekuensi semua guru harus menyiapkan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan dan karakter siswa CI.
Mengapa siswa CI memerlukan untuk dikecualikan dalam pembelajaran ? sesungguhnya siswa CI mempunyai kemampuan belajar yang lebih, kemampuan menerima dan menerapkan pengetahuan. Namun demikian semua kemampuan siswa CI tidak selalu tampil dalam waktu yang sama. Dengan kemampuan pemahaman yang tinggi seringkali tidak seiring dengan perkembangan fisiknya (Silverman, Linda K. 1995. Universal Experience of being out of sync ‘ Hongkong : paper world conference on gifted and talented children. Juli 31 1995. Berdasarkan pada kemampuan yang berbeda tersebut menuntut adanya pengecualian dalam layanan.
Menurut Silverman, cerdas istimewa adalah dimaknakan sebagai perkembangan yang tidak sebagaimana mestinya dalam kemampuan pengetahuan level tinggi dan dalam intensitas paling tinggi dalam menciptakan pengalamannya sendiri serta kesadaran atas perbedaan dari perkembangan secara normal. Apabila hal ini difahami, siswa CI selalu menunjukan adanya perbedaan dibandingkan dengan siswa sebayanya. Dalam kaitan ini Karen Rogers ( . 2002. Re Forming Gifted Education. Scottsdale. AZ: Great PotensialPress). Menegaskan bahwa apabila siswa berbeda maka siswa bersangkutan membutuhkan pengecualian dalam layanan program.
Dalam penegasan lebih lanjut ditegaskan bahwa sebelum guru menyiapkan program yang dikecualikan harus lebih dahulu mempertimbangkan dua isu:
1. bahwa program layanan pembelajaran yang dikecualikan tersebut harus dipandang dalam sudut pandang siswa CI sehingga penetuan bobot materi misalnya harus diukur dari sudut kemampuan siswa bukan pandangan dan anggapan guru.
2. bahwa program yang telah disusun harus dipertimbangkan apakah materi yang ditetapkan cukup penting. Bagi siswa CI mengerjakan pekerjaan yang dianggap sulit oleh sebayanya sesungguhnya merupakan hal yang biasa karena siswa CI memang mempunyai kemampuan lebih di atas siswa biasa.
Pemberian layanan diferensiasi bagi siswa Ci bukan diartikan sebagai upaya mendorong-dorong siswa bukan pula memaksa siswa untuk belajar materi yang lebih tinggi bersama siswa yang lebih tua sebelum siswa Ci siap. Namun layanan diferensiasi adalah tentang perencanaan kesesuaian pendidikan, tentang kecocokan tingkat keunggulan dan kerumitan kurikulum yang sesuai dengan kesiapan dan motivasi yang dimiliki oleh siswa CI. Layanan diferensiasi adalah tentang urusan bagaimana pembelajaran mernanggapi perbedaan individu.

Filosofi Kurikulum untuk siswa CI
Kurikulum untuk peserta didik cerdas istimewa dikembangkan berdasarkan pandangan dari berbagai filosofi sehingga mempunyai cara pandang terhadap konsep dan kedudukan kurikulum sendiri. Adapun filosofi kurikulum CI adalah sebagai berikut:
1. Kurikulum sebagai proses pengembangan pengetahuan. Filosofi kurikulum untuk pendidikan siswa berkecerdasan tinggi ini berfokus pada proses pengembangan ketrampilan dan kecenderungan pada penyusunan materi yang ditata pada level berfikir tingkat tinggi. Secara tersamar, pandangan filosofi ini juga berkehendak agar ketrampilan pengembangan berfikir tinggi diharapkan diterapkan lintas, dan ditingkatkan pada penemuan keilmuan yang barangkali dihadapi (Haskell, 2001).
2. Kurikulum sebagai teknologi. Pandangan filosofi ini memandang bahwa pembelajaran akan efektif dan efisien terealisir apabila sIstem pembelajaran telah disesuaikan secara keseluruhan bukan hanya secara bagian per bagian. Filosofi ini juga berpandangan bahwa kurikulum harus mempunyai standar yang jelas, dapat diajarkan dan dapat dites.
3. Kurikulum sebagai orientasi yang disesuaikan dengan pribadi. Pandangan ini menganggap bahwa kurikulum sebaiknya dikembangkan dari basis minat siswa CI sehingga muatan kurikulum dapat bertindak sebagai instrumen pengembang pribadi. Karenanya kurikulum tidak dibenarkan hanya berisikan sebatas area domain kognitif saja. Model kurikulum yang memperhatikan minat siswa ini akan membawa siswa lebih bertanggung jawab atas belajarnya sebab sesuai dengan minatnya.
4. Kurikulum sebagai rekonstruksi sosial. Filosofi ini menghendaki bahwa kurikulum CI harus bertujuan untuk menyiapkan siswa CI menjadi agen perubahan sosial. Dengan demikian konskwensinya isi kurikulum harus mencerminkan realita sosial dan budaya. Pilihan materi kurikulum dipilih untuk mampu mendorong program masyarakat dan munculnya tanggung jawab sosial pada siswa CI.
5. Kurikulum sebagai pengarah pembentukan karier profesionalitas.filosofi ini menekankan bahwa isi kurikulum seharusnya difungsikan sebagai salah satu cara mempersiapkan siswa CI dalam pekerjaan yang akan dimasuki setelah lulus. Karena itu penekanan pada kegiatan mentorship dan internship lebih diutamakan. (Tassel Baska, 2003).
Dengan memperhatikan filosofi dasar tersebut, sesungguhnya secara otomatis kurikulum untuk siswa CI tidak akan sama dengan kurikulum regular sebab disamping kemampuan kecerdasan dan karakternya siswa CI berbeda, juga filosofi yang mendasarinya juga berbeda.

Kebutuhan siswa CI sebagai pendorong diferensiasi standar isi
Penggunaan hasil pengukuran kebutuhan siswa CI sebagai dasar penyusunan layanan pembelajaran khususnya kurikulum sudah dilakukan sejak lama, sebab perencanaan pembelajaran bagi siswa Ci memang disusun berdasarkan identifikasi keunggulan dan kemampuan lebih pada siswa yang ditemukan. Model Tripocal selama ini banyak digunakan sebagai upaya menyesuaikan dengan keunggulan akademik siswa CI (Linda E. Brody. 2004. Grouping and Acceleration Practices in Gifted Education. California; Corwin Press. Hal. 35).
Layanan pembelajaran yang kurang sesuai akan menyebabkan siswa berprestasi di bawah kinerjanya. Siswa CI yang membutuhkan layanan kurikulum diferensiasi apabila diberikan layanan regular akan menyebabkan siswa CI berprestasi rendah. Untuk merespon kebutuhan siswa CI tersebut diperlukan layanan berujud grade skipping yang mengharuskan adanya diferensiasi isi dengan bobot tingkatannya sejajar dengan satu tingkat kelas di atasnya.
Dengan mendasarkan pada variasi kebutuhan siswa CI terutama dalam akademik maka menjadi jelas bahwa sangat penting melakukan eskalasi standar isi agar sesuai dengan keunggulan siswa CI.

Profil Siswa Cerdas Istimewa
Siswa cerdas istimewa selama dikenal sebagai siswa yang mempunyai perbedaan secara intelektual, ketertarikan serta kebutuhan di atas rerata siswa seumurnya. Harus disadari bahwa siswa CI merupakan entitas yang utuh yang merupakan gabungan dari berbagai karakter. Emosi tidak dapat dikembangkan dengan memisahkan dari pengembangan intelektual atau pengembangan secara fisik karena aspek satu mempengaruhi aspek lainnya (Roeper. 1981).
Siswa cerdas istimewa sebagai person yang memiliki keunggulan dibandingkan dengan sebayanya memiliki konskwensi dalam layanan pembelajarannya. Dalam kaitan ini ada enam perbedaan siswa CI dibandingkan dengan siswa lainnya. Informasi mengenai tingkat dan aspek perbedaan ini sangat bermanfaat bagi penyelenggaraan agar terfasilitasi tuntutan pertumbuhan mereka. Adapun enam perbedaan tersebut diskemakan dalam sajian di bawah ini.
PROFIL SISWA CERDAS ISTIMEWA
Tipe I Suksesful
Perasaan dan Sikap
Perilaku
kebutuhan
Persepsi orang dewasa & sebaya
identifikasi
Dukungan keluarga
Dukungan sekolah
Bosanan
Tergantung
Memiliki konsep diri yang positif
Mudah cemas
Mudah meniadakan kegagalan
Mempunyai motivasi dri luar diri
Kritis terhadap diri sendiri
Mengutamakan kesempurnaan
Berprestasi tinggi
Memburu guru yang mendukung
Tidak mengambil resiko
Secara akademik unggul
Tidak mandiri
Adanya tantangan
Mencari kelemahan
Mengambil resiko
Kecenderung berbangga
Mandiri
Bantuan mengusir kebosanan
Kurikulum yang sesuai
Dicintai oleh guru
Ditokohkan oleh sebaya
Dicintai dan diterima oleh orang tua
Tes pencapaian
Tes IQ
Nominasi guru

Kemandirian
Kepemilikan
Kebebasan dalam menentukan putusan
Disediakan waktu untuk pengembangan pribadi
Adanya percepatan dan pengayaan kurikulum
Disediakan waktu untuk pengembangan kebutuhan pribadi
Adanya pengalaman pembelajaran yang dipadatkan
Peluang pengembangan ketrampilan belajar mandiri
Belajar yang mendalam
Tersedia mentorship
Bimbingan karier & belajar lanjut
Tipe II Penantang
Mudah bosan
Mudah frustrasi
Rendah penghargaan terhadap diri sendiri
Suka bertahan
Tidak sabaran
Sangat sensitive
Tidak ada kepastian dalam peran social
Suka mengoreksi guru
Jujur, langsung
Sering memperlihatkan ketidakkonsistenan dalam kerja
Kurang control diri
Kreatif
Sangat aktif
Bertahan dalam pendirian
Kompetitif
Berhubungan siswa lain
Model belajar yang luwes, kesadaran diri, control diri, diterima oleh lainnya
Dukungan menuju kreativitas

Ditemukan sering mereka menjengkelkan
Pemberontak
Suka bikin kegaduhan
Sering pula problem keilmuan
Sejawat menadang mereka suka guyonan
Dikehendaki mereka harus berubah
Jangan dipandang mereka sbgai anak cerdas
Rekomendasi oleh teman sebaya
Nominasi orang tua
Interview
Kinerja
Tes kreativitas
Saran dari guru
Diterima dan difahami
Diizinkan untuk dia menemukan hobi dan ketertarikannya
Saran
Model perilaku teladan
Adanya pekerjaan rumah
Toleransi
Penempatan yang sesuai
Pengembangan ketrampilan social dan pengetahuan
Studi yang mendalam
Membangun harga diri
Tipe III Underground
Tidak precaya
Suka menekan
Konfus
Gelisah

Mengelak sebagai siswa berbakat
Menolak sebagai siswa CI
Menolak tantangan
Menghendaki rasa social
Berubah-ubah dalam berteman
Bebas untuk membuat putusan
Penyadaran atas konflik
Kesadaran akan pentingnya perasaan
Dukungan untuk berprestasi
Keterlibatan dalam teman sebaya yang unggul
Diterima sebagai diri sendiri
Dipandang sebagai pemimpin
Dipandang sebagai siswa yang sukses
Dipandang sebagai orang yang suka complain
Dipandang sebagai pemberontak
Nominasi siswa cerdas
Nominasi dari keluarga
Nominasi dari masyarakat
Pencapaian tes
Tes IQ
Kinerja yang diperlihatkan
Saran dari guru
Diterima sebagai siswa yang merendah
Diberikan pengalaman dalam perencanaan karier
Diberikan model untuk peran apa yang sebagai bagus untuk siswa CI
Model life long learning
Beri kebebasan untuk membuat pilihan
Diakui dan diberi tempat yang layak
Diberikan kebebasan waktu untuk keluar/ istirahat dari kelas CI
Terus menerus diberikan informasi karier dan studi di pendidikan lanjutan
Tipe IV : Drop out
Dendam, suka marah
Kurang memiliki konsep diri
Suka bertahan
Tidak tekun suka sebentar-sebantar hadir
Tidak suka menyelesaikan tugas
Membuat jarak ketika didalam kelas
Suka menyendiri
Kreatif
Kritis terhadap dri sendir dan orang lain
Tidak konsisten dalam kerja
Menampakan diri sebagai siswa biasa atau berkecerdasan di bawah normal
Program individual
Hadirnya alternatif dalam banyak hal
Bimbingan baik secara sendiri maupun kelompok
Bantuan perbaikan dalam ketrampilan
Banyak orang lain yang membencikan/ jengkel
Menolaknya dan jadi bahan tertawaan
Nampak berbahaya dan memberontak
Dengan interview secara dini
Pembedaan antara IQ dan penampilan pencapaian hasil
Tes kreativitas
Rekomendasi dari teman sebaya
Ditunjukan dalam kinerja atas aspek di laur sekolah.
Bimbingan keluarga
Tes diagnostik
Bimbingan kelompok
Studi yang mendalam
Mentorship

Tipe V label ganda
Tak berdaya
Frustrasi
Percaya diri dan harga diri merasa rendah
Kurang adanya kesadaran
Pemarah
Menunjukan kerja yang tidak konsisten
Menampakkan sebagai siswa biasa atau di bawah normal
Seringkali kacau atau bertindak di laur kendali
Dukungan yang menekankan kekuatan
Mencontoh skill
Bimbingan
Pengembangan ketrampilan





Nampak bodoh
Nampak tidak memerlukan bantuan
Dihindari oleh teman sebaya
Nampak seperti siswa biasa


Direkomendasi oleh guru direkomendasi oleh teman lainnya
Interview
Saran guru
Diakui atas kemampuan kecerdasannya
Diberikan tantangan
Diberikan bimbingan




Pemberian sumber belajar
Diberi alternatif pengalaman pembelajaran diberi pengalaman awal tentang penelitian beri waktu bergaul dengan sebaya
Diberi konseling secara individual

Tipe VI mandiri
Percaya diri
Punya konsep diri
Antusias
Diterima oleh yang lain
Sportif
Mau dan tahu dan mau belajar
Mau menerima kegagalan
Mempunyai motivasi dari dalam
Punya kekuatan pribadi
Mau menerima lainnya
Mempunyai ketrampilan bermasyarakat yang cocok
Kerja secara mandiri
Mampu mengembangkan tujuannya sendiri
Bekerja tanpa disuruh
Kreatif
Teguh dalam pendirian
Mau dan berani ambil resiko
Dibela
Masukan balik
Dibimbing dalam kemampuan
Diberikan fasilitasi
Diberi peluang
Diterima oleh teman sebaya
Nampak memiliki kemampuan dan bertanggung jawab kepada orang tua
Berhasil
Sehat secara psikologis
Ditunjukan dengan kinerja
Dengan hasil
Tes pencapaian
Interview
Dengan nominasi
Tes IQ
Tes kreativitas
Dibela
Diberikan kesempatan
Diperbolehkan berteman dengan semua umur
Mengubah kendala waktu dan ruang
Diperbolehkan untuk mengembangkan tujuan jangka panjang dan dipadukan dalam perencanaan belajar
Kurikulum yang diperkaya dan diaksel
Studi secara mendalam
Bimbingan karier dan studi lanjut
Diadopsi dari George Betts dan Maureen Neihart 1988.
Matrik di atas diharapkan dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Salah satunya adalah sebagai alat untuk dijadikan dasar bagi pelatihan guru terkait dengan informasi siswa CI dan remaja pada umumnya, perbedaan sosial, kebutuhan emosional bagi tiap tipe profil siswa CI sehingga guru dapat memahami secara lengkap tentang siswa CI dalam berbagai tipe yang ada. Disamping itu matrik juga bermanfaat sebagai alat pembelajaran dalam kerangka menuju tujuan yang lebih luas tentang makna kecerdasan istimewa pada siswa dan pengaruhnya dalam cara belajarnya sehingga dapat dicapai munculnya perencanaan yang cocok dengan karakter siswa CI.

Mitos dan Efek yang menimpa pembelajaran CI
Pembelajaran bagi siswa CI yang diberlakukan di Indonesia saat ini masih dalam perkembangan dan penyesuaian sehingga karena pelaksanaanya sangat beragam dan belum semuanya sesuai dengan ketentuan yang seharusnya diberlakukan, maka muncul stigma yang menyertainya. Kelemahan berupa ketidaksesuain materi kurikulum, proses pembelajaran serta kurang ketatnya seleksi bagi siswa CI, maka muncul titik lemah dalam penyelenggaraan misalnya terlalu pembelajaran yang tergesa-gesa, terlalu diforsir dalam target pencapaian materi serta sangat mengutamakan aspek kognitif.
Karena pemanfaatan penyelenggaraan layanan pembelajaran CI hanya merupakan opsi yang pertimbangannya sering tidak murni diselenggarakan karena memang harus diadakan (ada siswa yang memang teridentifikasi siswa CI) namun seringkali karena alasan mencari kepopuleran sekolah, mencari nilai unggul dan sebagainya, maka kemudian muncul mitos serta efek negatif yang diterima. Adapun mitos yang dimaksud adalah :
1. Siswa CI akan terjadi ketidaksesuaian sosial dan emosi apabila mereka dikenakan program CI.
Selama ini tidak hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa penyelenggaraan layanan siswa CI menyebabkan problem pada siswa. Problem ini hanya terjadi apabila dalam kurikulum yang disiapkan pada mereka siswa CI untuk aspek sosial emosional distrukturkan dalam kurikulum sangat rendah (tidak seimbang).
2. Siswa CI akan memperoleh hasil yang lebih banyak apabila pembelajarannya dikendalikan. Mitos ini cukup membahayakan siswa apabila diberlakukan model all size bagi semua siswa CI. Perbedaan individual seharusnya juga diberlakukan dalam berbagai jalan sehingga siswa mempunyai peluang belajar lebih efektif dan luas menuju keahlian sesuai dengan bidang studinya (Heinbokel. 2002).
BAB II
PENGEMBANGAN KURIKULUM DIFERENSIASI UNTUK CI

Strategi Pengembangan Kurikulum bagi Siswa Cerdas Istimewa
Di tinjau dari system pembelajaran, Pengembangan kurikulum yang diperuntukan bagi layanan pembelajaran CI sebenarnya merupakan upaya strategis memodifikasi kelas secara keseluruhan. Berikut ini diuraikan empat strategi penting yang dapat digunakan oleh guru untuk memodifikasi bagi layanan model pembelajaran akselerasi. Strategi yang dimaksud adalah:
a. Strategi memilih materi untuk kurikulum diferensiasi
b. Strategi Diagnostic Prescriptive Instruction
c. Stategi menyusun kembali kurikulum
d. Strategi pemadatan kurikulum. (Baska, 2005: 27)
Walaupun strategi pengembangan kurikulum menampakkan langkah yang makro namun justru strategi ini diharapkan lebih mampu membantu pelaksanaan layanan pembelajaran untuk akselerasi. Adapun uraian yang lebih luas dari strategi di atas sebagai berikut:
a. Memilih materi untuk kurikulum diferensiasi.
Strategi pertama ini yang sebaiknya dilakukan oleh guru pemegang studi dalam layanan akselerasi adalah memilih materi yang menunjukan isi materi yang berbobot di atas rerata. Dalam tahapan ini harus dapat diberikan bukti bahwa materi yang telah dipilih untuk layanan siswa CI benar-benar efektif untuk siswa CI dan memang nyata terjadi saat pembelajaran berlangsung ketika guru melaksanakan. Dalam kerangka memenuhi strategi pemilihan materi ini harus ditempuh tiga tahapan lagi yaitu:
Tahapan 1; guru diharapkan mendaftar calon materi dari berbagai sumber yang rencananya akan di review isinya maupun bobot tantangannya.
Materi yang sesuai untuk diterapkan pada siswa CI bukanlah materi dasar dan materi minimal yang digunakan kepada siswa regular tetapi materi yang memang efektif bagi siswa CI dan materi yang real. Dalam kaitan ini dapat digunakan strategi yang prosesnya meliputi tiga langkah. Dalam kaitan ini perpustakaan dapat membantu dalam tugas tahapan 1 ini. Berikut ini format yang dapat dijadikan rujukan dalam langkah 1.
a. Bidang studi : ……………………………………………………………
b. Level materi : …………………………………………………………..
c. Kumpulkan materi yang relevan dari terbitan atau perpustakaan dan tetapkan materi yang berkarakter :
- mempunyai dua level diatas bobot materi reguler
d. materi-materi kemudian diharapkan direview dengan menggunakan ceklis sebagai berikut :
Ya No
___ ___ , kegiatan, materi pembelajaran telah dilakukan pilihan cukup mempunyai tantangan bagi siswa yang memiliki keunggulan.
____ ____, penyusunan konsep materi telah diuji dalam kedalaman yang cukup
____ ____,telah memberikan peluang untuk siswa dalam menhasilkan produk
____ ____,telah memberikan peluang utk memadukan dengan cara berfikir tingkat tinggi.
____ ____, isu, problem dan tema cukup kompleks
____ ____, baik isi materi maupun pembelajaran memberikan pemahaman abstrak yang berlevel tinggi.
____ ____, perbedaan tingkat kemampuan pada siswa telah diwadahi dalam unit pembelajaran.
____ ____, bermuatan pertanyaan terbuka yang meminta jawaban secara divergen
____ ____, cukup memberikan pelaung terjadinya belajar mandiri
( diadopsi dari Van Tassel baska, 2003 : Content Based Curriculum for Gifted Learner hal. 269 -270) Waco , TX: Prufock Press.
Langkah 2. Saat materi pelajaran sudah ditemukan dan siap direview, guru segera melengkapinya dengan ceklis criteria sebagaimana dalam langkah 1 dan menilainya untuk mendapatkan materi yang sesuai.
Langkah 3. Guru menerapkan materi yang telah dipilih. Materi yang telah dipilih berdasarkan criteria yang termuat dalam ceklis selanjutnya diterapkan di kelas dengan mempertimbangkan gaya belajar siswa serta format intruksional yang akan digunakan. Apabila misalnya menggunakan berbasis masalah maka guru harus menformatnya dalam bentuk sajian materi kasusistik.

b. Diagnostic prescriptive instruction
untuk kebanyak siswa CI di sekolah, penggunaan layanan pembelajaran yang bercorak akselerasi sering banyak digunakan sebagai bagian dari upaya memberikan makna bagi siswa CI. Inti dari model diagnostic prescriptive instruction ini adalah dikembangkannya tiga langkah yaitu : penilaian diagnostik, pengelompokan berdasarkan ketentuan tertentu dan langkah lanjutan dari intervensi kurikulum.
Langkah penilaian diagnostic. Langkah ini bertujuan untuk mengetahui atau menduga apa keunggulan yang dimilii oleh siswa CI. Penilaian diagnostic ini bias juga dikaitkan dengan prestasi yang telah diperoleh tahun sebelumnya maupun data lainnya. Penggunaan data sumber secara multi sumber sangat membantu.
Langkah berikutnya adalah pengelompokan. Langkah ini sudah masuk dalam tahapan pembelajaran dalam kelas sehingga pengelompokan hakikatnya bagian dari pelaksanaan pembelajaran. Atas dasar itu pegeompokan siswapun harus berdasarkan pada hasil penilaian diagnostic. Pengelompokan dalam kelas misalnya ternyata hanya ada seorang yang sangat tinggi keunggulannya maka dapat dikelompokan dengan siswa yang hamper sebanding bila tidak terpaksanya diminta untuk kerja mandiri.
Langkah selanjutnya adalah intervensi dengan materi kurikulum. Sesungguhnya langkah ini membawa konskwensi yaitu apabila siswa dikelompokan dengan ketentuan criteria tertentu maka seharusnya untuk mereka harus disiapkan perencanaan pembelajaran yang sesuai pula. Dalam kerangka intervensi melalui langkah ini sebaiknya guru mempunyai catatan mengenai tingkat penguasaan materi siswa dalam bentuk persentase dan dibanding dengan standar materi yang ada. Dengan menggunakan persentase 85 % penguasaan materi standar maka tentukan materi mana yang harus dilengkapkan penguasaannya, seangkan apabila menggunakan 50 % penguasaan materi standar bidang dari materi kurikulum mana yang dapat di handel lebih cepat. Selanjutnya tentukan materi mana yang harus diajarkan materi secara penuh maupun yang tidak penuh.

c. Strategi penyusunan kurikulum
strategi kelas yang lain yang bisa dilakukan untuk modifikasi pada kelas akselerasi adalah menyusun kembali kurikulum atau memadatkan isi terkait dengan konsep dan ketrampilan berfikir tingkat tinggi. Ini mendorong untuk guru mempunyai keunggulan pengetahuan materi pelajaran dan pemahaman terhadap standar yang relevan dengan mata pelajaran yang dipelajari siswa.
Dalam strategi penyusunan ulang kurikulum ini guru perlu melakukan review materi pelajaran dan memetakan lingkup serta urutan topic yang akan diajar. Langkah ini untuk menghindari adanya kesalahan konsep. Dalam langkah ini guru dapat mengkobinasikan topic, merinkasnya maupun memperluas topic khusus berdasarkan pertimbangan tertentu.
Dalam menyusun kembali kurikulum yang terpilih tersebut, guru mulai menuliskan kembali materi yang berlevel tinggi dan kemudian mulai mengembangkan kegiatan dan pertanyaan untuk pedoman siswa belajar. (lihat lampiran hal 42-43 Baska. 2005 Acceleration…….). figure 8.
d. Strategi Pemadatan kurikulum.
Strategi bagi guru dalam memberikan layanan pembelajaran siswa CI dapat menempuh melalui proses (compacting process) . tujuan dari langkah pemadatan proses adalah untuk memberikan efek diferensiasi dalam menggerakan siswa CI dari pembelajaran model belajar konvensional menuju adanya pembelajaran percepatan. Adapun mekanisme pelaksanaan pemadatan kurikulum yang dianjurkan oleh Renzulli (1982) sebagai berikut:
1. Guru membutuhkan terlebih dahulu menguji standar isi yang memiliki kemungkinan menjadi materi kurikulum CI yang bias dipadatkan untuk ditingkatkan bobotnya.
2. Guru selanjutnya membuat keputusan terkait dengan pretest dan posttest yang digunakan. Banyak guru menggunakan hasil review test untuk penilaian awal terhadap materi yang telah dikuasai siswa dan post test untuk untuk penilaian akhir. Ada juga guru harus menggunakan tes lain untuk menetukan kelayakan materi kurikulum yang akan diterapkan dan akan digunakan.

Karakter Proses Pembelajaran
Pembelajaran bagi siswa CI harus mempunyai level kualitatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas regular sehingga proses pembelajaran yang dijalani memiliki tantangan dan level berfikir kritis. Menurut Baska, (2003) ada tiga dimensi yang mempunyai pengaruh langsung terhadap kesuksesan proses pembelajaran siswa CI yaitu: penguasaan materi, proses dan produk dan konsep pengetahuan. Deminsi-demensi ini dipadukan dan digunakan sebagai dasar untuk menyusun kurikulum diferensiasi melalui model yang dikenalkan oleh Baska yaitu Integrated Curriculum Model (ICM).

Isi Materi
Isi materi kurikulum dalam pembelajaran CI lebih banyak mengarah pada aplikasi dalam praktik. Dalam kaitan ini mekanisme yang diterapkan dalam pendekatan pembelajaran adalah Diagnostic- prescriptive Instructional Approach. Pendekatan ini dilaksanakan dengan terlebih dahulu siswa dites dan selanjutnya berdasarkan hasil tes, siswa kemudian baru disiapkan materi yang sesuai untuk dikuasai.
Pendekatan ini ditata secara efektif di bawah kendali hasil tes , artinya mana pilihan materi yang akan dimasukan dalam kurikulum sangat tergantung pada hasil tes yang menggambarkan materi yang menurut siswa ada kesulitan.
Penentuan isi materi perspektifnya dari sudut siswa bukan guru.
Dalam penggunaan model ini terbuka kemungkinan dalam waktu yang sama di kelas yang sama dapat terjadi perbedaan problem, buku, atau sumber buku sehingga pembelajaran cenderung bersifat individual.
Menurut Stanley (1983) model Diagnostic prescriptive ini lebih cocok diterapkan dalam pelajaran Matematika. Sedangkan apabila guru menggunakan pembelajaran yang mengutamakan pendekatan isi, maka diperlukan adanya penghilangan materi tertentu yang dianggap kurang penting dari materi yang diajarkan. Disinilah guru dituntut menjadi penyeleksi materi yang handal. Walaupun demikian bukan berarti guru bertindak secara absolut menentukan materi yang dianggap penting secara sendiri/sepihak, harus dipertimbangkan kepentingan dan kebutuhan siswa sebab menu kurikulum diperuntukan untuk siswa bukan untuk guru sehingga harus sesuai dengan kebutuhannya. Untuk penetapan materi kurikulum harus dilakukan need assessment kebutuhan materi siswa.


Proses dan Produk
Dimensi proses dan produk sangat menekankan pada pembelajaran yang bercorak ketrampilan investigasi pada siswa CI yang memungkinkan memberi efek pada tumbuhnya kemampuan pengembangan produk yang berkualitas tinggi. Interaksi antara guru, siswa dan praktisi merupakan ciri utama pembelajaran CI. Model ini menurut Renzulli sangat berhasil di lingkungan pembelajaran siswa gifted khususnya dalam bidang ilmu sosial di sekolah sebab peluang siswa CI untuk menggunakan berbagai sumber baik dalam sekolah maupun luar kelas sangat terbuka.
Kelas yang menyelenggarakan layanan pendidikan bagi siswa CI tidak terlalu mengutamakan formal tetapi sangat fleksible sehingga kegiatan pembelajaran sangat mengutamakan proses yaitu kegiatan pembelajaran yang lebih mementingkan bagaimana pembinaan siswa CI dari tahap ke tahap bukan hasil akhir. Hal ini penting sebab dalam tataran empirik selalu menujukan bahwa siswa CI akan mengalami kekurangan dalam aspek sosial, emosional. Dengan adanya pembelajaran yang mementingkan proses maka aspek tumbuh kembangnya emosional, kematangan social tetap akan bias dipantau.
Demikian juga kelas layanan pendidikan bagi siswa Ci harus juga mementingkan produk artinya dalam pelaksanaan pembelajaran, siswa CI dituntut untuk menghasilkan produk sebagai tuntutan level tingkat tinggi yang dalam taksonomi Bloom dikenal dengan level creating. Atas dasar tuntutan yang demikian maka penerapan pola portofolio dalam arti penerapan model pembelajaran sangat diutamakan. Produk siswa CI dipandang sebagai simbol dari kemampuan tinggi siswa.

Titik berat Kurikulum untuk pembelajaran siswa CI
Prinsip dasar dari pembelajaran bagi siswa CI adalah penyediaan materi yang berbobot lebih tinggi dan mendalam pada sejumlah langkah pengembangannya (van Tassel Baska. 2003). Namun demikian tidaklah mudah sekolah menyediakan dasar materi yang elaboratif, serta aktivitas yang kaya dan meningkat peluang pembelajaranya.
Pembelajaran bagi siswa CI harus lebih berorientasi pada pengembangan tuntutan berfikir tingkat tinggi (advance) sehingga kurikulum disiapkan untuk mendukung bagi upaya terjadinya kegiatan pembelajaran yang bercorak ekplorasi, inquiry dan pemecahan masalah. Terkait dengan hal tersebut kurikulum harus berisikan materi unggul (content adnvanced) serta problem solving.
Mendasarkan pada pandangan George T. Betts (1991: 144) bahwa kurikulum khusus untuk CI harus lebih menekankan pada bobot materi yang lebih tinggi, namun hal itu belum cukup sehingga diperlukan masuknya dimensi lain yaitu: orientasi,, pengembangan individu, pengayaan aktivitas, studi mendalam dan seminar. Dengan demikian kurikulum harus dilengkapi dengan rancangan desain strategi. Pemahaman kurikulum tidak sebatas deretan materi namun dipadukan dengan desain strategi merupakan definisi baru tentang kurikulum (renzulli. 2001). Berdasarkan pada pemahaman yang demikian Betts mengusulkan model The Autonomous Learner Model (ALM) yang mempunyai keunggulan dalam mengakomodasikan kebutuhan emosional, minat dalam kurikulum. Karakter kurikulum yang dikembangkan oleh Betts ini dipandang sebagai khas dan penekanan kurikulum CI karena berprinsip membangun keprcayaan diri, ketrampilan social, materi kurikulum berbasis siswa, pengalaman pembelajarn yang terbuka, berprinsip pembelajran seumur hidup dan sebagainya sehingga tujuan utamanya dapat menyediakan kurikulum:
1. Mengembangkan lebih positif konsep diri
2. Mengembangkan hubungan yang komperehensif diantara siswa CI dengan masyarakatnya.
3. Mengembangkan ketrampilan yang sesuai untuk membangun interaksi yang efektif dengan sebaya, orang tua dan orang dewasa liannya.
4. Munculnya wawasan siswa CI dalam berbagai perspektif keilmuan
5. mengembangkan berfikir, membuat keputusan dan ketrampilan pemecahan masalah
6. mampu berpartsipasi dalam kegiatan yang sesuai untuk mendukung dan memadukan pengetahuannya, emosinya dan sosialnya.
7. Menunjukan tanggung jawabnya atas pembelajrannya sendiri baik di dalam maupun di laur kelas.
8. tujuan terakhir adalah siswa CI menjadi tanggung jawab, kreatif dan siswa yang mandiri.


Autonomous learner
Individual project
Groupproject













Komponen-Komponen Kurikulum CI
Kurikulum yang diberlakukan pada siswa CI adalah kurikulum yang telah mengalami modifikasi sehingga memiliki bobot yang lebih menantang, mendalam dan lintas disiplin. Berdasarkan pada pengertian umum kurikulum maka kurikulum untuk siswa CI juga memiliki format sebagaimana standar isi sebagaimana yang termuat dalam SK Mendiknas nomer 22 tentang stndar isi.
Berdasarkan pada ketentuan muatan tersebut, maka komponen kurikulum CI terdiri :
1. standar kompetensi
2. Kompetensi dasar
3. identitas mata pelajaran
Perbedaan antara kurikulum Ci dengan regular adalah bobot yang ditargetkan baik dalam standar kompetensi, maupun kompetensi dasar. Ketentuan yang harus dipenuhi dalam standar isi untuk siswa CI adalah standar isi harus memiliki level bobot minimal aplikasi, sehingga rentangannya mulai bobot materi aplikasi sampai dengan kreasi (memproduksi).
Sedangkan basis kurikulum yang dijadikan dasar untuk memodifikasi materi dalam kurikulum adalah standar isi yang diberlakukan oleh Pemerintah, sehingga kurikulum siswa CI sesungguhnya merupakan standar isi regular namun telah dilakukan eskalasi setinggi dua level diatasnya. Pilihan standar isi sebagai basis modifikasi disebabkan proses penguasaan materi bagi sekolah di Indonesia adalah standar isi yang dikeluarkan oleh BSNP.
Adanya pertimbangan yang terkait dengan keunggulan siswa CI, membuat materi yang dipelajari menjadi lebih komplek dan sesuai dengan keminatan siswa. Dari beberapa pertimbangan atas keunggulan tersebut, maka ancangan yang dapat dipilih untuk menuju diferensiasi kurikulum sebagai berikut:
1. mengadakan perubahan isi. Materi dibuat lebih abstrak, membuat materi lebih sulit dan lebih rumit, menghubungkan materi lintas keilmuan, menghubngkan materi dengan persoalan kemanusiaan
2. Perubahan pada proses baik pada cara mengajar guru maupun siswa belajar. Perubahan proses ini misalnya melalui akselerasi, studi secara hati-hati, pemberian dan penugasan yang luwes, penggunaan pertanyaan yang terbuka yang memilki jawaban yang tidak tunggal, maupun pengembangan kemampuan siswa dalam mengatur pencapaian tujuan belajarnya sendiri.
3. Perubahan pada produk sebagai bukti pencapaian yang ditunjukan.

Model Modifikasi Kurikulum untuk CI
Modifikasi kurikulum bagi siswa CI selama ini dikenal dengan kurikulum diferensiasi yaitu kurikulum regular yang telah dilakukan eskalasi. Perubahan bobot terutama dalam isi tuntutan kompetensi terutama dalam kompetensi dasar.
Unit analisis yang pokok dari modifikasi kurikulum bagi siswa CI adalah siswa. Dengan demikian hasil modifikasi yang tersusun selalu harus disesuaikan dengan siswa Ci baik karakternya maupun keunggulannya. Langkah modifikasi yang diorientasikan kepada siswa CI ini sangat penting agar hasil kurikulum yang telah dimodifikasi tersebut tepat peruntukannya dan membawa nilai tambah. Filosofi dari kegiatan orientasi pada modifikasi kurikulum ini adalah berdasarkan pada paradigma pengembangan keunggulan dan bakat yang ada pada siswa CI, menguatkan dan menyediakan kurikulum yang menantang bagi siswa CI sesuai dengan kebutuhannya (Silverman. 1993). Selama ini kelemahan yang sering muncul adalah adanya lemahnya dalam perencanaan kurikulum, pengorganisasian dan ketrampilan reflektif bagi suksesnya siswa CI di sekolah.
Modifikasi kurikulum bagi siswa CI dalam konteks ini bukan sekedar memisahkan materi yang dianggap esesni oleh guru tetapi penetapan materi didasarkan penentuannya melalui atau berdasar hasil asesmen yang dikenakan pada tingkat penguasaan materi yang telah dimiliki (prior knowledge) sehingga apabila dipilih bentuknya kurikulum yang mengalami kompakting maka penetuannya didasarkan hasil tes dan materi yang memang belum dikuasai sebelumnya oleh siswa. Tidak boleh materi ketika diberlakukan kompakting kurikulum ditentukan berdasarkan keputusan guru. hal ini penting untuk difahami agar materi yang akan diberlakukan dalam materi kurikulum memenang secara riil diperlukan oleh siswa CI.
Modifikasi kurikulum yang dikhususkan untuk siswa CI mempunyai konskwensi pada sisi luar kelas sehingga mengharuskan adanya fleksibilitas dalam pengaturan belajar. Dalam kasus ini misalnya siswa CI yang mengambil mata pelajaran di atasnya boleh jadi siswa CI membutuhkan untuk mendatangi kelas lainnya sehingga dalam pelaksanaanya diperlukan adanya koordinasi waktu , persyaratan guru maupun sekolah lain.
Secara umum, cara bagaimana melakukan modifikasi kurikulum ditempuh dengan mengkaitkannya dengan intelektual tinggi seperti berfikir kritis, analisis maupun kreasi. Namun dalam sekolah lain bias juga mengembangkan seperti kartu yang mengindinkasikan perlunya modifikasi kurikulum. Kartu dapat diserahkan kepada orang tua untuk diisi terkait dengan kebutuhan orang tua atas format modifikasi kurikulum yang akan diberlakukan. Namun demikian dapat pula ditempuh dengan jalan meminta saran dari ahli atau perguruan tinggi.
Modifikasi kurikulum untuk siswa CI sesungguhnya bukan bersifat kuantitatif dalam arti melakukan penjumlahan atau mengurangan isi kurikulum tetapi seharusnya bersifat kualitatif yaitu secara kualitas terjadi peningkatan baik dalam bobot maupun kemanfaatan. Salah satu saran yang mengarah pada sifat kualitatif adalah menjadikan materi lebih abstrak (Maker. 1982). Materi dipilih lebih merupakan konsep abtrak bukan yang kongkrit , materi dapat juga dikemas dalam bentuk lebih kompleks. (lihat Nicholas Colangelo. 1991 : 104).
Kurikulum untuk CI berkarakter pada focus berfikir tingkat tinggi dan problem solving karenanya kurikulum untuk siswa CI menuntut susunan yang khusus sehingga bentuknya dapat berupa kasus kasus yang harus dipecahkan oleh siswa CI. Dalam kaitan ini secara detail Getzels telah mengembangkan tipe problem yang dapat diacu dalam mengemas kurikulum CI.
Problem, menurut Getzels membedakan problem menjadi dua yaitu presented problem situation dan discovered problem situation. Keduanya dibedakan karena presented problem situation telah diketahui rumusannya, metode pemecahannya dan diketahui pula cara pemecahannya, sedangkan discovered problem situation sebaliknya. Getzels membedakan lebih lanjut tipe problem menjadi lima yaitu:
Tipe Problem
Tipe
Problem
Metode
Pemecahan

Siswa
Guru
Siswa
Guru
Siswa
Guru
1.
Tahu
tahu
tahu
tahu
Tdk tahu
tahu
2.
tahu
tahu
Tdk tahu
tahu
Tdk tahu
Tahu
3
tahu
tahu
rentangan
Tahu
Tdk tahu
tahu
4
tahu
tahu
Tdk tahu
Tdk tahu
Tdk tahu
Tdk tahu
5.
Tdk tahu
Tdk tahu
Tdk tahu
Tdk tahu
Tdk tahu
Tdk tahu

Diadopsi dari J.W Getzels. 1976. The Creative Vision.
Dalam kaitan ini menunjukan bahwa kurikulum Ci apabila dikehendaki untuk dikemas dalam tipe satu maka tuntutannya siswa harus mampu mengenal dengan jelas masalah yang akan dipecahkan serta menguasai langkah-langkah (metode ) yang ditempuh untuk menemukan pemecahan secara lengkap. Namun apabila dikendaki siswa CI targetnya mampu dan sukses dalam pribadi, masalah karier maka kurikulum harus didesain dengan tipe problema pada minimal tipe 2, demikian selanjutnya. Semakin tuntutan semakin tinggi diarahkan kepada siswa CI maka susunan kurikulum juga tipenya semakin meningkat.

Strategi pengembangan kurikulum CI

No comments:

Post a Comment